2. Â Kesejahteraan buruh akan menurun
Omnibus Law ini dinilai dapat menimbulkan fleksibilitas tenaga kerja dalam hal bentuk penetapan upah yang di bawah minimum, lamanya waktu bekerja, dan perluasan alih daya (outsourching). Upah buruh yang dihitung per jam akan sangat kecil jika dihitung berdasarkan upah minimum provinsi Jakarta.
3. Â Sentralisasi perizinan
Hal ini dinilai sudah menyalahi otonomi daerah yang sudah berjalan sejak dulu. Sentralisasi perizinan ini dapat menyebabkan jauhnya pelayanan publik dan dapat menyulitkan penyampaian aspirasi masyarakat.
4. Â Izin investasi yang ringan
Omnibus Law ini dinilai memberikan kemudahan bagi korporasi untuk mengeksploitasi ruang hidup rakyat seperti tanah. Perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi ini berpotensi akan semakin meningkat dan akan menyulitkan masyarakat.
5. Â Ancaman PHK
Omnibus Law ini dinilai menghilangkan pesangon bagi buruh yang terkena PHK sehingga menyebabkan pemilik modal semakin mudah untuk melakukan relokasi ke daerah lain yang upahnya lebih murah. Hal ini akan menimbulkan terjadinya PHK massal.
6. Â Penyusunan Omnibus Law dianggap tak transparan dan tak partisipatif
Serikat buruh menilai pemerintah tidak melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) khususnya kaum buruh, dalam pembahasannya. Hal ini menimbulkan kecurigaan aturan itu ditumpangi suatu kepentingan tertentu.
Kemudian satuan tugas yang terdapat dalam Omnibus Law yang dibentuk pemerintah dinilai bersifat eksklusif dan elitis, sehingga tidak mengakomodasi kelompok masyarakat yang terdampak. Tercatat bahwa tugas-tugas yang ada di dalam Omnibus Law ini sebagian besar berasal dari kalangan pemerintah dan pengusaha.