Pada Selasa tanggal 3 Desember 2024, Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengumumkan darurat militer yang mengejutkan dunia. Selama beberapa jam diberlakukan darurat militer Korea Selatan, Yoon mengeluarkan dekrit yang melarang protes dan aktivitas parlemen dan partai politik, serta menempatkan media di bawah kendali pemerintah. Langkah tersebut ditentang oleh parlemen sehingga akhkirnya dibatalkan oleh Presiden Yoon. Peristiwa ini merupakan darurat militer ke-5 dalam sejarah Korea Selatan. Dilansir dari The Straits Times, beberapa langkah tersebut tampaknya telah diterapkan sebelum 190 dari 300 anggota Majelis Nasional menentang kordons polisi dan militer untuk memberikan suara menentang deklarasi tersebut, yang kemudian dijanjikan oleh Mr. Yoon untuk dicabut.
Mengapa Peristiwa Ini Penting Untuk Dipelajari?
Peristiwa Martial Law di Korea Selatan penting untuk dipelajari karena peristiwa ini menggambarkan kekuatan demokrasi dan bagaimana masyarakat sipil serta partai oposisi dapat berperan dalam memperjuangkan hak-hak demokrasi melawan tindakan otoriter. Ini menunjukkan bahwa demokrasi dapat bertahan meskipun ada tekanan kuat dari pemerintah yang berkuasa. Selain itu, mempelajari Martial Law di Korea Selatan memberikan pelajaran sejarah yang berharga tentang dinamika politik dan sosial masa tersebut. Hal ini memberikan wawasan tentang bagaimana pemerintah dapat menggunakan kekuasaan militer untuk menjaga stabilitas, namun juga dapat menimbulkan perlawanan dari berbagai lapisan masyarakat.
Latar Belakang Martial Law di Korea Selatan
Martial law di Korea Selatan telah diterapkan beberapa kali sejak negara ini merdeka pada tahun 1948. Salah satu peristiwa paling penting adalah pada tahun 1960, ketika Presiden Syngman Rhee memproklamasikan martial law sebagai tanggapan terhadap demonstrasi mahasiswa yang menuntut reformasi demokratis. Protes ini, yang dikenal sebagai Revolusi 19 April, berkembang menjadi gerakan besar dengan ribuan orang turun ke jalan. Tindakan keras pemerintah terhadap demonstran menyebabkan banyak korban jiwa, yang akhirnya memaksa Rhee untuk mundur dari jabatannya (Smith, 2020; Kim, 1995).
Martial law juga diberlakukan pada tahun 1972 oleh Presiden Park Chung-hee melalui deklarasi Yushin, yang memperkuat kekuasaannya dan membatasi kebebasan politik. Setelah pembunuhan Park pada tahun 1979, martial law kembali diumumkan untuk menekan kekacauan politik dan sosial. Kali ini, langkah tersebut bertujuan untuk mengendalikan protes yang menentang pemerintah militer yang dipimpin oleh Jenderal Chun Doo-hwan. Periode ini berakhir dengan terjadinya Pemberontakan Gwangju pada Mei 1980, di mana ribuan warga sipil tewas atau terluka akibat tindakan keras militer. (Lee, 2003; Choi, 2011).
Peristiwa-peristiwa ini menunjukkan bagaimana martial law digunakan untuk menekan oposisi politik dan mengendalikan masyarakat, serta dampaknya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di Korea Selatan.
Dampak Martial Law Terhadap Masyarakat dan Pemerintahan Korea Selatan
Martial law memiliki dampak jangka panjang yang signifikan terhadap masyarakat dan pemerintahan Korea Selatan. Dari sudut pandang sosial, pengalaman hidup di bawah pemerintahan militer telah menanamkan trauma kolektif dan ketidakpercayaan terhadap otoritas pemerintah. Banyak warga Korea Selatan masih mengingat tindakan keras pemerintah terhadap protes dan perbedaan pendapat, yang menciptakan rasa waspada terhadap otoritarianisme. Namun, pengalaman ini juga memicu gerakan demokratisasi yang kuat, yang akhirnya membawa negara ini menuju reformasi politik yang signifikan dan penguatan hak asasi manusia (Smith, 2020; Kim, 1995).
Di sisi pemerintahan, periode Martial Law menyoroti kelemahan dalam sistem otoriter, mendorong Korea Selatan untuk mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi yang lebih kuat dan transparansi dalam administrasi publik. Institusi seperti Komisi Hak Asasi Manusia Nasional Korea dan undang-undang terkait kebebasan berpendapat dan berkumpul yang lebih ketat merupakan hasil langsung dari pelajaran yang dipetik selama periode tersebut (Lee, 2003). Saat ini, Korea Selatan dikenal sebagai salah satu demokrasi yang berkembang pesat di Asia, meskipun bayang-bayang masa lalunya masih memengaruhi kebijakan dan sikap masyarakat terhadap pemerintah (Choi, 2011).