Hidup dan kematian ditakdirkan untuk berjalan beriringan. Tidak ada seorang pun yang dapat memaksakan diri, supaya ia dapat selalu hidup maupun mati di dunia ini. Hanya takdir yang mampu menjawab manusia masih hidup atau mati dan takdir itu sangat erat dengan waktu, dengan kata lain waktu akan merekam hidup dan mati seseorang. Orang Kristiani mengimani bahwa hidup dan mati adalah kehendak Allah, oleh karena itu bagi saya waktu adalah representasi nyata kehendak Allah dalam hidup seseorang. hal itu makin tampak di masa pandemi Covid-19 ini,Â
Per tanggal 14 November 2021 di Indonesia masih tercatat 143.659 orang meninggal karena Covid-19. Situasi Covid-19 di Indonesia cenderung membaik, namun situasi itu masih menimbulkan trauma dan kecemasan bagi masyarakat negeri ini. Ada orang yang optimis sebanyak 40, 2%, 18% tidak jelas 41, 8% orang masih pesimis terhadap Pandemi Covid-19 per Februari 2021.[1] Di masa ini saya merefleksikan manusia seakan menjadi homo sacer (manusia sakral).
Homo sacer, menurut deskripsi Festus adalah "the unpunishability of his killing and the ban of his sacrifice (Manusia yang boleh dibunuh namun bukan dalam bentuk pengorbanan, manusia dalam status pengecualian)" (Agamben, 1998). Â Maksudnya secara figur, masih dapat dicap sebagai manusia, namun tidak memiliki kapasitas untuk berfungsi sebagai manusia yang sesuai dengan tuntutan suatu kelompok masyarakat. Menurut Agamben di Zaman ini homo Sacer itu seperti para pengungsi, orang yang sedang koma.[2]
Secara sederhana homo Sacer adalah orang yang tak memiliki harapan lagi dalam hidupnya, ia  dihargai sebab ia manusia dan menunggu momen kematiannya saja. Saya tidak akan mengaitkan hal ini dengan situasi politik seperti uraian Agamben. Dalam konteks ini saya lebih melihat manusia sakral ini sebagai relasi manusia dengan realita hidup yang begitu suram dan sukar dihadapi. Jika manusia layak dibunuh karena tidak lagi mendapatkan identitas politik dalam negara seperti dikatakan Festus, maka dalam konteks pandemi manusia layak untuk mati saat terkena Covid-19, karena tidak ada lagi yang dapat melindunginya. Dengan melihat konteks pandemi ini, manusia cenderung sibuk mencari obat dan cara mencegah untuk tidak terkena Covid-19. Manusia merasa belum ada suatu kuasa yang nyata agar dirinya selamat dari Covid-19.
Bayangkan saja suplemen penguat imun tubuh, vaksin dan potokol kesehatan yang menjadi harapan keselamatan belum bisa diandalkan, bahkan orang beriman dan hidup baik pun menyerah di hadapan Covid-19, bagaimana orang bisa selamat menghadapi Covid-19? Dimana TUhan? Mengapa Ia menghendaki situasi ini? Â hal itu bagi saya adalah alasan mengapa orang selalu pesimis melihat realita yang ada. Apakah Tuhan menghukum manusia melalui Covid-19? Tentu tidak, itu hanyalah pertanyaan bagi orang yang pesimis menghadapi situasi sulit ini.Â
Memang manusia hanyalah Homo sacer di hadapan kuasa Tuhan, maksudnya manusia hanya ciptaan yang siap mati dihadapan-Nya. Realita tersebut menyadarkan manusia bahwa ia juga memiliki batas. Pandemi membuat manusia semakin sadar bahwa hidup ini akan berujung pada kematian. Akan tetapi Tuhan juga memberi kasih-Nya kepada manusia seperti memberi rahmat kehidupan, akal budi, hati nurani dan kebebasan memlih sesuatu.
Seharusnya orang tidak menyerah terhadap situasi suram karena Tuhan memberi manusia kemampuan untuk mengatasi situasi itu. Kekhawatiran dan ketakutan membuat manusia lupa bahwa ia masih memiliki Tuhan sebagai benteng dan pelindung utamanya. Di masa yang sulit ini janganlah kita menjadi Homo sacer yang pasrah pada keadaan karena tak ada yang dapat melindungi melainkan terus berharap pada pelindung utamanya yaitu Tuhan sendiri. Â Pengharapan adalah dasar terpenting yang harus manusia punya agar dapat mengatasi Covid-19.Â
Situasi positif yang mencerminkan motivasi positif yang melandaskan pada makna keberhasilan dan cara yang dirancang untuk mencapai tujuan itulah harapan yang harus kita wujudkan (synder, 2002). Menurut Bloch manusia harus memakai mimpi positif tentang masa depan untuk melakukan tindakan. Melihat masa depan jangan yang terlalu Utopia (sempurna) tetapi masa depan yang lebih realistis dalam arti yang bisa diperjuangkan.
Orang harus mengatakan "ya" pada realita pandemi Covid-19 ini dan melihatnya dari segi positif. Orang yang melihat dari segi positif tidak akan mengatakan bahwa Pandemi ini adalah hukuman Tuhan melainkan tantangan untuk meningkatkan makna kualitas hidupnya.Â
Dengan demikian harapan menjadi sarana orang melampaui diri dan memperdalam makna hidupnya. Mampu melampaui diri atau magis sebagai bentuk transendensi diri untuk memproyeksikan diri ke depan dan melakukan keutamaannya sebagai manusia. Melakukan keutamaan berarti upaya memperoleh keyakinan diri untuk mampu bekerjasama dengan semua rahmat yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya. Dengan kesadaran demikian manusia mampu menjadi manusia yang beriman, tidak hanya percaya dan pasrah pada keadaan melainkan beriman yang bertanggung jawab akan waktu untuk hidup yang telah diberikan oleh Tuhan kepadanya.
Harapan disisi lain juga harus mengungkapkan relasi kita dengan liyan atau dalam pembahasan Gabriel marcel, ia mengatakan "I hope in Thee for us". Kita perlu rekoneksi, maskudnya bukan berkumpul tetapi menjaga relasi dengan orang lain, dengan cara berempati, membantu mereka yang lebih menderita di masa ini dan tetap menjaga protokol kesehatan agar kehadiran kita tidak membuat dampak buruk pada persebaran Covid-19. Maka marilah kita menjadi orang-orang yang bereksistensi dalam hidup ini, dengan menjadi orang yang berpengharapan untuk terus melangkah maju (menerima keterbatasan menolak menyerah akan keadaan) dalam masa sulit ini, gunakan kebebasan kita untuk memilih hal terbaik untuk memperoleh kehidupan bersama yang lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H