Mohon tunggu...
Teguh S
Teguh S Mohon Tunggu... Guru - Praktisi & Pemerhati Pendìdikan

Bukan generasi milenial, tetapi pendidik anak-anak zaman milenial

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perbincangan Kecil dengan Rekan Guru (Bagian II)

12 Juni 2022   14:27 Diperbarui: 12 Juni 2022   14:34 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bangku pojok perpustakaan ini, penulis terlibat perdebatan kecil dengan sang guru senior, beberapa hari yang lalu. "Begini pak, guru seharusnya mengajar secara langsung, menulis dan menjelaskan materi di papan tulis. Jika perlu beberapa kali guru menghapus papan tulis , menulis, serta mengulang kembali penjelasan materi sampai siswa benar-benar paham", paparnya. 

Penulis mengangguk-angguk mendengarkan pemaparan sang guru senior. Kemudian dia melanjutkan, "Bertahun-tahun saya membuktikan itu cara efektif untuk memahamkan materi ke siswa, kalau sudah terbukti efektif lalu mengapa harus diubah?", tanyanya, lebih tepat argumennya.

"Mohon maaf pak, silahkan dibaca", kata penulis sambal menyodorkan dokumen Standar Proses IKM (Implementasi Kurikulum Merdeka). 

Terlihat sang guru senior membetulkan letak kacamatanya, dan sebelum membaca dahinya berkerut. Pada lembaran tersebut tertulis bahwa pelaksanaan pembelajaran menurut IKM dilaksanakan dalam suasana belajar yang: a) interaktif; b) inspiratif; c) menyenangkan; d) menantang; e) memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif; dan f) memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik. "Ini merubah budaya dan tradisi, tradisi artinya kebiasaan, kebiasaan yang dilestarikan akhirnya menjadi budaya", komentarnya terhadap standar proses IKM. "Belum siap pak", untuk kesekian kalinya kalimat itu dia ucapkan.

"Monggo ini juga di baca pak", kata penulis sambil menyodorkan lembaran lain dari dokumen IKM yaitu tentang penilaian. Lembaran tersebut menguraikan bahwa ada tiga jenis asesmen, yaitu assessment for learning, assessment as learning, dan assessment of learning. Kembali dia membetulkan letak kacamatanya, kemudian membuka lembar demi lembar dokumen yang penulis sodorkan.

Kali ini hanya sepintas dia membuka-bukanya, sejenak kemudian dia memberikan penjelasan, "Langkah-langkah penilaian guru itu begini pak. Setelah mengajar satu KD (Kompetensi Dasar), guru menyelenggarakan ulangan harian. Sehingga setiap siswa dapat diketahui peringkat perolehan nilainya. Kemudian lembaran daftar nilainya ditempel di dinding kelas sehingga transparan semua siswa mengetahui kondisi kemampuannya masing-masing", urainya panjang lebar. Penulis terdiam mendengarkan uraian sang guru senior.

Setelah menyeka keringat di keningnya, dia kembali menjelaskan, "Di akhir semester dilakukan penilaian akhir semester dengan materi seluruh KD dalam satu semester, nilai akhir semester ini sangat menentukan nilai akhir raport. Langkah-langkah seperti ini sudah terbukti efektif hingga penyelenggaraan ujian sekolah yang mengantarkan siswa lulus, kita sudah nyaman dengan cara menilai kemampuan siswa seperti ini", jelasnya panjang lebar tentang penilaian yang selama ini sudah berlaku. "Kalau sudah terbukti efektif, mengapa harus diubah", tanyanya, lebih tepatnya argumennya.

"Mohon maaf pak, yang bapak lakukan selama ini adalah assessment of learning, IKM menginginkan agar penilaian tidak sekedar assessment of learning", tanggapan penulis. Kali ini tidak ada penjelasan panjang lebar lagi, hanya terdengar suara helaan nafasnya. "Belum siap pak", itu kalimat terakhir sebelum dia berdiri dari tempat duduknya. Itu akhir perdebatan kecil kami beberapa hari yang lalu.

Di ujung bangku koperasi sekolah penulis kembali merenungi kejadian beberapa hari yang lalu. Penulis membayangkan sedang duduk di depan sang guru senior, penulis berkata, "Mari laksanakan IKM tahun 2022 ini pak guru senior. Mari tertatih-tatih bersama sekolah-sekolah lain yang sedang giat mempelajari IKM".

Penulis masih melanjutkan dialog imajinaf dengan sang guru senior, penulis beragumen, "Jika IKM dilaksanakan tahun 2022 ini, harapannya pada tahun 2023 nanti guru-guru di sekolah kita sudah memahami dan melaksanakan IKM dengan lancar". Penulis melanjutkan argument imajinatifnya, "Kalau tahun 2024 nanti baru mulai tertatih-tatih belajar, bukankah ketinggalan dengan sekolah lain?".

Penulis tertegun dari lamunan ini, sebelum meninggalkan bangku perpustakaan, penulis memperoleh kesimpulan. Memperhatikan kemauan sang guru senior membaca lembaran dokumen IKM itu sudah menunjukkan awal "kondisi siap", jadi istilah "tergesa-gesa" yang diucapkan sang guru senior adalah kurang tepat, itu kesimpulannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun