Ketergantungan terhadap HP kemudian menyeret manusia kepada tindakan-tindakan yang berdampak pada kerugian atau ancaman keselamatan diri. Katakanlah itu judi online, termakan hoax (berita bohong yang tak berdasar), terpapar pornografi (karena tampilan bernada porno kerap muncul begitu saja saat mengakses internet), ujaran kebencian, lebih jauh lagi terperangkap dalam Human Trafficking. Jerat perdagangan orang di media sosial menggunakan iming-iming gaji yang menggiurkan di perusahaan yang tak jelas. Jika sudah  terjerat, korban akan sulit melepaskan diri. Hal ini telah banyak diberitakan oleh media, diantaranya oleh  Kompas usai kunjungan mantan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi di Phnom Penh, Kamboja (2/8/2022). Pada waktu itu sindikat perdagangan orang berhasil menjerat 232 warga Indonesia di Kamboja.
Di lain pihak ujaran kebencian juga melanda dunia politik saat ini, isu Fufufafa masih menjadi perbincangan hangat netizen dan polemik di media sosial. Postingan yang muncul dari akun seseorang itu (belum diketahui pemiliknya) menjadi perhatian karena mengandung unsur-unsur penghinaan terhadap tokoh-tokoh tertentu yang terus menerus, tidak memandang etika seperti body shaming (menghina dengan mengomentari fisik atau tampilan seseorang); name calling (label negatif untuk mendeskripsikan seseorang/sesuatu); cyberbullying, pun kata-kata yang berkonotasi mesum. Meski postingan tersebut dilakukan sekitar 10 tahun lalu, namun kekuatan rekam jejak lewat media sosial menjadikan sebuah bukti yang sulit dipungkiri.
Ketergantungan terhadap gadget atau HP yang terhubung dengan internet juga melanda dunia pendidikan saat ini. Penulis melakukan pengamatan pasca Pandemi terhadap para mahasiswa di beberapa perguruan tinggi di Jakarta. Penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa begitu mudah melakukakan plagiarism pada karya tulis, ujian online (take home test) atau tulisan lainnya. Akses yang cepat untuk memperoleh data, dengan melakukan 'klik' tanpa perlu bersusah-susah pergi ke perpustakaan menjadikan motivasi belajar mahasiswa cenderung menurun. Melalui pengamatan tersebut tercetus pula bahwa untuk menghadapi ujian mereka hanya bergantung pada bahan presentasi dosen dan tidak terpicu untuk membuat catatan atau membaca buku-buku referensi. Akibatnya, mereka kurang mengenal istilah-istilah terkini yang banyak dikutip di media massa seperti Bonus Demografi, oligarki, money laundering. Tampak di sini bahwa penggunaan media baru belum dioptimalkan, atau ketergantungan terhadap media baru belum untuk menambah pengetahuan dan melakukan pengkinian (updating) terhadap isu-isu penting dunia selain hal-hal yang sifatnya hiburan. Dampak lainnya adalah hambatan dalam kemampuan berkomunikasi, minimnya perbendaharaan kata, keterbatasan untuk menulis dengan Bahasa Indonesia yang mumpuni. Â
Kaum Muda dan Perjuangan
Lepas dari hal-hal tersebut, kita tak boleh lupa peran kaum muda dalam memperjuangkan demokrasi di bulan Agustus 2024. Para mahasiswa melakukan demo massal dan memprotes upaya DPR dan Pemerintah yang ingin melakukan revisi UU Pilkada pasca putusan MK yang dianggap sudah final dan mengikat. Melalui perjuangan para mahasiswa dari berbagai Universitas dan wilayah Indonesia, DPR RI memastikan bahwa pengesahan revisi UU Pilkada dibatalkan. Hal ini menunjukkan bahwa kaum muda berani bersuara dan memiliki kepedulian terhadap kepentingan bangsa. Sebelumnya, telah terjadi banjir kritikan oleh sejumlah sivitas akademika dan guru besar dari berbagai universitas di Indonesia menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Mereka mengingatkan Presiden terdahulu yang dinilai telah menyimpang dari jalur demokrasi. Hal ini adalah ujud tanggungjawab moral dari kaum intelektual terhadap penyelenggaraan negara yang dianggap tak lagi mengindahkan asas, prinsip, etika dan moral. (sumber: Tempo, CNN, Kompas)
Berkaitan dengan dunia Pendidikan, ironisnya muncul fenomena lain tentang ketergantungan terhadap gelar seseorang. Mengapa demikian? Ada orang yang belum merasa nyaman tanpa menambah embel-embel gelar akademik tertinggi pada namanya, meski telah menduduki posisi penting atau terkenal karena profesi dan karyanya. Â Hal ini tampak dari maraknya isu perolehan gelar Doctor Honoris Causa (gelar doktor kehormatan kepada seseorang yang dianggap berjasa atau berkarya luarbiasa), juga gelar doktor yang diperoleh sementara orang dalam waktu singkat. Hal ini menambah rentetan contoh yang tidak elok bagi kaum muda. Seorang presenter dan aktor ternama Indonesia yang masuk dalam Kabinet Merah Putih sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni menjadi perbincangan hangat karena gelar akademik yang mendadak diperolehnya. Berbagai media mainstream (media massa) dan media sosial mengangkat isu ini, diantaranya Detik.com dengan judul Polemik Gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad yang Tak Diakui Pemerintah. Demikian pula CNN Indonesia (7/10) meliput investigasi Ditjen Dikti Kemendikbudristek terhadap perolehan gelar tersebut. Ditegaskan bahwa perguruan tinggi asing yang menyelenggarakan Pendidikan tinggi di Indonesia harus memenuhi persyaratan yang ada di dalam Permendikbudristek 23/24. Sehingga gelar RA dari kampus UIPM, Thailand belum dapat diakui. Demikian halnya dengan gelar doktor dari seorang Menteri lain yang ditangguhkan oleh Universitas Indonesia (UI). Tempo.co memberitakan bahwa Majelis Wali Amanat UI menangguhkan kelulusan program doktoral Ketua Umum Partai Golkar sekaligus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia.
Ketergantungan pada Kekuasaan
Ketergantungan kedua adalah Kekuasaan. Panggung politik Indonesia saat ini bukanlah merupakan edukasi politik yang  baik khususnya bagi kaum muda.  Suguhan saling sikut, menjatuhkan, framing, perkataan-perkataan yang menghojat lawan hingga pengabaian hukum mewarnai berbagai media. Relasi kekuasaan sangat kental bermain dalam dunia perpolitikan. Para aktor politik seakan tak dapat lepas dari kekuasaan yang dimiliki, sehingga apapun akan dilakukan untuk mempertahankannya. VOA Indonesia (3/7/20) merilis berita bertajuk "Terbukti Berbuat Asusila Ketua KPU Hasyim Asy'ari Dipecat". Keputusan ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebab yang bersangkutan terbukti melakukan Tindakan asusila terhadap seorang anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Den Haag, Belanda.
Mengacu pada Teori Maslow, hierarki tertinggi yakni kebutuhan aktualisasi diri seyogyanya merupakan kebutuhan seseorang untuk mengembangkan potensinya serta meningkatkan kemampuan diri guna menjadi orang yang lebih baik. Teori ini menyatakan bahwa pada tingkat hierarki ini adalah saatnya seseorang mulai mengesampingkan kebutuhan lain karena sudah memperoleh kebutuhan hidup dari tingkat pertama hingga ke empat. Â Dengan pengertian lain, ia hanya ingin berkarya tanpa memikirkan uang, menikmati masa pensiunnya dengan tenang, melakukan hal-hal yang sebelumnya tak dapat dilakukan karena masih memiliki kesibukan terhadap jabatannya.
Beberapa karakteristik dari aktualisasi diri adalah individu mampu melihat realitas secara efisien, menerima diri sendiri apa adanya, kesederhanaan serta kesadaran sosial. Sebagai contoh seseorang yang pensiun artinya ia telah mencapai puncak karya dan orang lain akan melihat dan menghargainya melalui apa yang dilakukannya selama mengemban jabatan. Dengan demikian, ia dapat menikmati hari-hari yang lebih lengang dan melakukan hobi yang menggembirakan dirinya dan berarti bagi orang di sekitarnya. Namun, bagi sementara orang hal-hal tersebut belum dapat dikategorikan sebagai aktualisasi diri karena masih menganggap kekuasaan sebagai kebutuhan dasar yang tak dapat dipisahkan. Seakan mereka tak dapat 'hidup' jika tidak memiliki atau mempertahankannya. Hal ini kemudian mendorongnya untuk melakukan berbagai upaya guna memperoleh 'kekuasaan' yang seharusnya dilepaskan untuk dilanjut oleh generasi berikutnya. Â Â
Orang Muda, Kepemimpinan dan Pilkada