Bagi sebuah negara yang menganut sistem demokrasi seperti Indonesia saat ini, ruang paling terbuka bagi setiap anak bangsa untuk berpartisipasi dalam politik adalah harus berani berpolitik. Sebab, hakekatnya berdemokrasi adalah memberikan kebebasan kepada setiap warga negara untuk berpendapat, berekspresi, dan berkumpul.
Kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dimaksud sejatinya membuka kran bagi setiap warga negara untuk menentukan sikap dan pilihan politiknya, mengeksplorasi diri melalui organisasi (komunitas) sebagai wadah baginya demi kepentingan bersama.
Pertanyaan kritisnya, apakah setiap kita sudah menjalankan itu?
Ada sebuah pandangan yang mengatakan, demokrasi itu akan tumbuh, kuat, dan mengakar harus lahir dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pandangan ini tentunya sejalan dengan asas demokrasi yang kita anut selama ini yaitu dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.
Setiap kita yang juga adalah bagian dari rakyat diarahkan berperan aktif dalam kehidupan demokrasi, termasuk dalam dunia politik. Cuman cara dan peran kita agak berbeda-beda dan bervariasi.
Ada yang memilih masuk dalam struktur partai (infrastruktur politik) sebagai kendaraan politiknya. Ada pula sebatas pengamat politik ataupun menjadi Tim Sukses (Timses) salah satu caleg ataupun kandidat dan tak sedkitnya pula ada yang masuk dalam kelompok relawan, Psangan Calon (Paslon) yang didukungnya.
Inilah realitas politik dalam konteks demokrasi yang terjadi saat ini. Setidaknya, kita sedikit bernafas legah, kesadaran masyarakat dalam kehidupan demokrasi (politik) mulai nampak. Artinya, rakyat mulai berani dan sadar bahwa partisipasinya dalam dunia politik sangat dibutuhkan.
Menyangkut soal kualitas dan pemahaman kita tentang ilmu politik itu kesekiannya. Tapi yang terpenting adalah membangun sebuah kesadaran dan keberanian kita dalam berpolitik itu poin utamanya.
Romo Mangun pernah membagi wilayah politik dalam dua bagian. Pertama, politik kekuasaan dan kedua, politik moral. Politik kekuasaan lebih mengedepan soal jabatan dan kedudukan serta mengutamakan kepentingan segelintir orang, kendatipun jabatan yang di peroleh dengan cara licik dan curang.
Sedangkan politik moral, lebih berorientasi pada kebaikan bersama atau kesejahteraan umum (bonum commune).
Berpolitik sesungguhnya kewajiban moral bagi setiap insan manusia. Tanpa disadari, dalam keseharian manusia sedang memainkan perannya sebagai manusia politik. Walaupun ia sendiri sebagai sutradaranya.
Kewajiban moral ini pulalah yang mewajibkan manusia untuk berani berpolitik. Berani mengambil peran di ruang publik sebagai manusia politik demi sebuah perubahan dan perbaikan bersama, semua buat semua, satu buat semua.
Berpolitik tidak mesti harus mendapat kekuasaan atau jabatan. Berpoitik juga tidak mesti harus mendapat pundi-pundi uang ataupun bantuan sosial. Berpolitik itu tidak mesti pula harus masuk di partai politik. Inti sari dari berpolitik adalah bonum commune (kesejahteraan umum)
Sebut saja, seorang guru agama setiap hari selalu ke sekolah untuk mengajarkan ilmu pengetahuan agama kepada peserta didiknya. Suka tidak suka, guru ini sedangkan memainkan perannya sebagai manusia politik, namun wilayah politik yang ia lakoni yang disebut Romo Mangun adalah politik moral.
Politk yang ingin mencerdaskan kehidupan anak-anak bangsa lewat pendidikan dan ilmu pengetahuan. Politik untuk memberantas buta huruf di indonesia. Itulah hakekat dari politik moral.Â
Mangsa Politik
Ada sebuah adagium, barang siapa yang buta politik akan menjadi mangsa politik. Barangkali segelintir orang bersikap apatis terhadap parnyataan di atas. Karena bagi mereka berbicara tentang politik itu sesuatu yang tabuh dan haram.Â
Keengganan orang untuk berpartisipasi dalam politik dilatarbelakangi oleh ulah para elit politik yang mempraktek politik diluar nilai etika dan moral. Politik dijadikan sebagai alat untuk memuaskan nafsu kekuasaan semata dan mengabaikan kesejahteraan umum.Â
Keengganan orang untuk berpolitik disebabkan pula oleh maraknya pratek korupsi yang dilakukan oleh pemimpin dan wakil rakyat yaang mendapat mandat dari rakyat. Namun, setelah kekuasaan di dapat mereka mengingkari kepercayaan yang diberikan oleh rakyat dengan melakukan praktek korupsi.Â
Fenomena inilah yang mengubah paradigma orang tentang politik. Pelabelan buruk tentang politik menciderai teori dan ilmu pengetahuan tentang politik. Anggapan orang bahwa politik itu busuk, jorok, dan tak berperikemanusian menjadi stigma di tengah lingkungan sosial masyarakat.Â
Kemudian, apabila ditanya, bagaimana mengembalikan kepercayaan masyarakat bahwa politik itu tidak seperti anggapan, busuk dan jorok?Â
Tokoh politik dunia, Recep Toyyib Erdogan yang juga Presiden Turki ke-12 pernah berujar, "Jika orang baik tidak terjun ke politik, maka para penjahatlah yang akan mengisinya". Pernyataan Erdogan (Presiden Turki) ini merupakan salah jawaban atas pertanyaan di atas.Â
Masyarakat harus menyadari sungguh bahwa maju mundurnya negeri ini ada di tangan mereka sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sesuai mandat Undang-Undang Dasar 1945. Maka dari itu, masyarakat punya tanggungjawab moral agar negeri ini tidak di kuasi para penjahat-penjahat politik.Â
Demikianpun mereka tak boleh alergi dengan politik agar tidak menjadi mangsa politik (politik pragmatis) yang mendewakan kekuasaan, melupakan nilai kemanusian. Mereka harus berani berpolitik dengan mengedepan etika politik sebagai bentuk pertanggungjawaban dan kewajiban manusia atas manusia.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H