Secara tidak langsung Adam menginginkan agar Pemilu itu harus dilaksanakan dengan jujur dan adil tanpa ada kecurangan dan menghindari terjadinya konflik sosial. Artinya, para kontestan, baik dalam Pemilu dan pemilihan mampu memenangkan mayoritas hati rakyat dengan cara-cara fair.
Alasan pertama yang di paparkan oleh Adam Pzeworski rumusannya sangat sederhana. Itupun jika setiap peserta Pemilu, baik partai politik maupun calon perseorangan memiliki keinginan yang sama yakni sama-sama menyukseskan seluruh proses tahapan Pemilu dengan baik, tertib, dan aman.Â
Tetapi kenyataannya, dalam setiap kali penyelenggaraan Pemilu, masih banyak kita temukan kecurangan dan pelanggaran terhadap seluruh proses tahapan Pemilu. Baik itu dalam bentuk pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi, bahkan hingga pelanggaran kode etik.
Di Pemilu 2019 yang lalu misalnya, wajah demokrasi kita kembali tercoreng akibat ulah Kelompok Penyelengara Pemungutan Suara (KPPS) yang melakukan malapraktek kecurangan dengan cara mencoblos surat suara bagi pemilih yang sudah meninggal.Â
Perbuatan penyelenggara di tingkat bawa ini telah merusak dan merendahkan wibawa lembaga KPU. Akibat dari perbuatan memalukan itu, akhirnya anggota KPPS dimaksud harus berakhir di penjara.
Alasan Kedua yang di tulis oleh Adam Pzeworski adalah demokrasi memberikan ruang kebebasan bagi individu, meniscayakan terjadinya konflik-konflik.Â
Secara eksplisit Adam Pzeworski mau mengatakan kepada kita bahwa sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, tentunya memberikan ruang kepada setiap individu ataupun kelompok untuk menyelesaikan konflik-konflik tersebut melalui lembaga-lembaga demokrasi yang ada.Â
Sehingga, konflik-konflik yang ditimbulkan tadi tidak menyebarluas yang dapat menimbulkan perpecahan dan pertikaian.
Dalam benak kita masih terngiang kejadian pada pemilu tahun 2019 yang lalu di mana pasangan calon (Paslon) Presiden dan Wakil Presiden nomor urut 02 Prabowo-Sandi menolak hasil keputusan KPU atas penetapan rekapitulasi hasil perolehan suara pemilihan umum calon presiden dan wakil presiden.Â
Penolakan itu dilakukan dengan alasan bahwa telah terjadi kecurangan dan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif. Sehingga sengketa hasil ini berakhir di meja Mahkamah Konstitusi.
Memang situasi politik saat itu sempat memanas, namun patut kita syukuri walaupun terjadi polarisasi di tengah masyarakat, akan tetapi tidak ada insiden luar biasa yang dapat memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.