Pagi ini aku terbangun dengan wanita yang tidak aku kenal sebelumnya. Bukan, dia bukan pelacur. Dia istriku. Istriku yang tidak aku kenal. Aneh memang. Tapi sumpah aku tidak bohong dengan apa yang aku rasakan pagi ini.
Aku mencoba mengenalnya pagi ini sebelum ia bangun dari tidurnya. Aku perhatikan setiap inci wajahnya. Tidak ada yang berubah. Ini memang istriku. Tapi kenapa aku merasa tidak mengenalnya.
Setiap pagi, setelah kami bangun tidur, kami selalu melihat wajah kami masing-masing lalu melemparkan senyum sebagai tanda syukur kami karena pagi ini kami masih bisa dipertemukan oleh Tuhan dan masih berada di tempat tidur yang sama. Setelah itu, aku atau istriku selalu bilang, “I love you.”, sebagai pengingat bahwa kami masih merasakan cinta yang sama setiap harinya.
Setelah itu kami berdua menuju dapur. Dia persiapkan aku sarapan, aku mengambil koran lalu duduk di kursi favoritku di ruang makan. Aku mulai membaca koran yang isinya tidak jauh dari kekuasaan dan korupsi.
Tak lama istriku menaruh sarapanku di atas meja, di depan aku. Kurang lebih jaraknya tidak lebih dari 30 cm dari perutku yang buncit. Biasanya aku sarapan roti isi selai coklat atau selai kacang, kadang isi telur ceplok dan kalau istriku sedang tidak ada rapat pagi ini, ia akan membuatkan aku nasi goreng teri favoritku.
Dan sarapan pagiku hari ini adalah nasi goreng teri. Itu artinya hari ini dia tidak sedang ada rapat pagi ini. Aku melihat piring berisi nasi goreng itu lalu melihat ke istriku. Kalau nasi goreng ini tidak pedas, itu berarti dia bukan istriku.
Aku mulai menaruh koran di samping piring makanku, mengambil sendok dan garpu lalu mulai menyantap satu sendok nasi goreng untuk membuktikan apa yang aku rasakan pagi ini. Dan rasa pedasnya pas! Aku melihat istriku yang sedang membuat sarapan untuknya. Tidak ada yang berbeda. Tapi entah mengapa aku masih merasa tidak mengenalnya.
Aku lalu berangkat kerja. Begitupun istriku. Pikiran mengenai istriku masih berkecamuk sepanjang perjalananku menuju ke kantor. Siapa dia? Tentu dia istriku. Siapa lagi? Tapi kenapa aku tidak mengenalnya? Wajahnya tidak berubah. Aku mengambil dompetku, untuk memastikan foto yang ada di dalam dompetku adalah memang benar foto dirinya. Dan foto di dompetku seperti tidak sependapat dengan apa yang aku rasakan pagi ini.
“selamat pagi pak, ada seorang perempuan yang mau bertemu dengan bapak.”, suara sekretarisku dari speaker telepon ruang kerjaku.
“siapa ya?”
“namanya Lintang pak.”
“sudah bikin janji?”
"belum pak.”
“kalau belum bikin janji ya bilang aja saya lagi rapat.”
“baik pak.”
Lintang. Aku tidak punya teman perempuan bernama Lintang. Apa dia mantanku? Ah seperti tidak ada mantanku yang bernama Lintang. Atau jangan-jangan wanita itu mau menuntutku karena perilaku aku kalau sudah mabuk di bar?? Ah iya, pasti itu. Tidak mungkin tidak. Aku yakin itu pasti alasannya. Dia pasti mau meminta pertanggungjawabanku untuk anak yang dikandungnya.
Tepat pukul 16:30 WIB, aku menyelesaikan pekerjaanku, membereskan barang-barangku dan pulang. Aku berjalan di lorong kantor menuju mobilku di tempat parkir. Di dalam perjalananku menuju mobil, seorang wanita melihat ke arahku. Ia tidak berhenti melepaskan pandangannya dari aku. Aku melihat sekelebat untuk melihat siapakah dirinya. Aku tidak mengenalnya. Aku melanjutkan langkahku menuju mobil. Lalu perlahan dia mulai berjalan mengikuti aku.
Aku sedikit percepat langkahku menuju mobil. Wanita itu pun juga mempercepat langkahnya agar tidak ketinggalan dari aku. Aku sedikit berlari menuju mobil dan dengan cepat aku membuka mobilku dan masuk ke dalam, menyalakan mesin dan segera pergi dari parkiran kantorku.
***
Pagi ini pun aku terbangun dengan wanita yang tidak aku kenal sebelumnya. Bukan, dia bukan pelacur. Dia istriku. Istriku yang tidak aku kenal. Aneh memang. Tapi sumpah aku tidak bohong dengan apa yang aku rasakan pagi ini sama dengan pagi sebelumnya.
Aku mencoba mengenalnya lagi pagi ini sebelum ia bangun dari tidurnya. Aku perhatikan setiap inci wajahnya. Tidak ada yang berubah. Ini memang istriku. Tapi kenapa aku merasa tidak mengenalnya.
Setiap pagi, setelah kami bangun tidur, kami selalu melihat wajah kami masing-masing lalu melemparkan senyum sebagai tanda syukur kami karena pagi ini kami masih bisa dipertemukan oleh Tuhan dan masih berada di tempat tidur yang sama. Setelah itu, aku atau istriku selalu bilang, “I love you.”, sebagai pengingat bahwa kami masih merasakan cinta yang sama setiap harinya.
Setelah itu kami berdua menuju dapur. Dia persiapkan aku sarapan, aku mengambil koran lalu duduk di kursi favoritku di ruang makan. Aku mulai membaca koran yang isinya tidak jauh dari kekuasaan dan korupsi.
Tak lama istriku menaruh sarapanku di atas meja, di depan aku. Kurang lebih jaraknya tidak lebih dari 30 cm dari perutku yang buncit. Biasanya aku sarapan roti isi selai coklat atau selai kacang, kadang isi telur ceplok dan kalau istriku sedang tidak ada rapat pagi ini, ia akan membuatkan aku nasi goreng teri favoritku.
Dan sarapan pagiku hari ini adalah nasi goreng teri. Itu artinya hari ini dia tidak sedang ada rapat pagi ini. Aku melihat piring berisi nasi goreng itu lalu melihat ke istriku. Kalau nasi goreng ini tidak pedas, itu berarti dia bukan istriku.
Aku mulai menaruh koran di samping piring makanku, mengambil sendok dan garpu lalu mulai menyantap satu sendok nasi goreng untuk membuktikan apa yang aku rasakan pagi ini. Dan rasa pedasnya pas! Aku melihat istriku yang sedang membuat sarapan untuknya. Tidak ada yang berbeda. Tapi entah mengapa aku masih merasa tidak mengenalnya.
Aku lalu berangkat kerja. Begitupun istriku. Pikiran mengenai istriku masih berkecamuk sepanjang perjalananku menuju ke kantor. Siapa dia? Tentu dia istriku. Siapa lagi? Tapi kenapa aku tidak mengenalnya? Wajahnya tidak berubah. Aku mengambil dompetku, untuk memastikan foto yang ada di dalam dompetku adalah memang benar foto dirinya. Dan foto di dompetku seperti tidak sependapat dengan apa yang aku rasakan pagi ini.
“selamat pagi pak, ada seorang perempuan yang mau bertemu dengan bapak.”, suara sekretarisku dari speaker telepon ruang kerjaku.
“siapa ya?”
“namanya Lintang pak.”
“sudah bikin janji?”
“belum pak.”
“kalau belum bikin janji ya bilang aja saya lagi rapat.”
“baik pak.”
Aku pernah dengar nama itu sebelumnya. Lintang. Tapi darimana ya? Nama itu seperti merasuk ke dalam jantungku dan membuatnya berdegup lebih kencang. Tapi siapa wanita bernama Lintang itu?
Tepat pukul 16:30 WIB, aku menyelesaikan pekerjaanku, membereskan barang-barangku dan pulang. Aku berjalan di lorong kantor menuju mobilku di tempat parkir. Di dalam perjalananku menuju mobil, seorang wanita melihat ke arahku. Ia tidak berhenti melepaskan pandangannya dari aku. Aku melihat sekelebat untuk melihat siapakah dirinya. Aku tidak mengenalnya. Aku melanjutkan langkahku menuju mobil. Lalu perlahan dia mulai berjalan mengikuti aku.
Aku sedikit percepat langkahku menuju mobil. Wanita itu pun juga mempercepat langkahnya agar tidak ketinggalan dari aku. Aku sedikit berlari menuju mobil dan dengan cepat aku membuka mobilku. Tapi sebelum aku masuk ke dalam mobilku, wanita itu memanggil namaku,
“Gibran!”
aku menghentikan aktifitasku. Dan melihat ke arah wanita itu. Aku seperti mengenal wanita itu. Tapi entah darimana. Wajahnya bukanlah wajah ala supermodel, bibirnya sedikit tebal, ada beberapa jerawat di pipinya, tidak banyak, tapi tidak mengusik kecantikannya. Tidak! Aku tidak boleh tergoda dengannya. Aku pria beristri!
“siapa kamu?”
“Lintang. Kamu tidak mengenalku?”
“aku tidak punya teman atau mantan bernama Lintang.”
“memang. Aku tahu itu. Hanya aku perempuan bernama Lintang yang dekat denganmu.”
Aku berjalan mendekat ke arahnya. Dan berdiri tepat di depannya.
“siapa kamu?”
“kamu masih ingat kita pernah bertemu sebelumnya?”, tanya Lintang.
“tidak, aku tidak pernah bertemu denganmu dimanapun.”, tegasku.
“waktu itu tahun 1994, aku mahasiswi baru yang sedang ikut ospek kampus. Kamu waktu itu senior aku, pebimbing kelompok aku.”, Lintang coba mengingatkan aku.
“tidak ada di kelompok itu yang namanya Lintang. Kamu gila kali ya??”
aku mulai berjalan kembali menuju mobilku. Lintang masih mengikuti aku.
“kamu tidak suka kopi hitam.”
“siapa juga yang suka kopi hitam?”
“sahabat kamu, Wahyu.”
Deg! Aku kaget. Bagaimana dia kenal juga dengan sahabatku, Wahyu?? Aku menghentikan langkahku.
“kamu paling benci dengan cuaca panas. Karena kalau panas, kulitmu memerah dan itu bikin kamu gatal. Kamu tidak suka makan sayur. Kamu suka buang gas sembarangan, tidak kenal tempat. Kamu punya sinus. Kamu paling benci hal-hal berbau otomotif. Kamu tidak bisa menggaruk punggungmu sendiri dan selalu memintaku untuk menggaruknya untukmu. Kalau mandi, kamu selalu shampoo-an dulu, sikat gigi, cuci muka pakai sabun muka, baru sabun badanku, selalu seperti itu.”, Lintang mencoba meyakinkan aku.
Aku mulai bingung dengan semua ini. Semua pertanyaan berkecamuk di pikiranku. Siapa perempuan bernama Lintang ini.
“aku suka membuatkanmu nasi goreng teri ketika sarapan. Kamu tidak suka kalau nasi goreng mu terlalu pedas.. ---“
“--- stop! Tidak ada yang tahu hal itu selain Rumi, istriku.”
“Rumi bukan istrimu. Aku istrimu! Ini aku Gibran, Lintang, istrimu!”
Otakku seperti berputar terbalik. Pusing luar biasa. Jantungku mulai berdegup kencang. Pandanganku mulai kabur. Dan seketika pandanganku berubah gelap, hitam kelam.
***
Pagi ini aku terbangun dengan seorang wanita yang tidur memunggungiku. Dia istriku. Ya, dia pasti istriku. Aku mencoba mengenalnya lagi pagi ini sebelum ia bangun dari tidurnya. Aku perhatikan setiap inci wajahnya. Tidak ada yang berubah. Ini memang istriku. Lintang.
Jakarta, 17 Mei 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H