[caption id="" align="aligncenter" width="300" caption="what they don"][/caption]
5 tahun setelah film pertamanya berjudul Fiksi, Nursita Mouly Surya atau yang lebih dikenal dengan Mouly Surya kembali dengan film terbarunya berjudul What They Don’t Talk About When They Talk About Love.
Dengan bantuan dana dari Hubert Bals Fund, Goteborg International Film Festival Fund, Asian Project Market dan Busan International Film Festival, Film ini tayang pertama di festival film Sundance dalam kategori World Dramatic bersama 11 film dari berbagai Negara lainnya.
Dan untuk pertamakalinya, film yang dibintangi oleh Nicholas Saputra dan Ayushita Nugraha tayang secara terbatas di 4 teater jaringan bioskop 21 di Jakarta.
PUISI VISUAL
“…tiba-tiba kusadari lagu burung camar tadi/ cuma kisah sedih nada duka, hati yang terluka/ tiada teman, berbagi derita/ bahkan untuk berbagi cerita…//”, sebait lirik lagu “Burung Camar” milik Vina Panduwinata di awal film yang dinyanyikan oleh para murid Sekolah Luar Biasa berhasil meng-hook penonton sekaligus menyampaikan apa yang ingin diutarakan pembuat film dari film ini.
Adalah Fitri seorang gadis yang tidak bisa melihat dari lahir dan Diana, gadis yang hanya bisa melihat di jarak 2 cm yang jatuh cinta kepada pasangannya masing-masing. Fitri dengan hantu dokter yang selalu dikirimkannya surat berisikan perasaan dihatinya dan Diana dengan Andhika, murid baru sekolahnya yang tidak bisa melihat.
Ketidak sempurnaan masing-masing karakter bukan halangan untuk jatuh cinta. Terkadang cinta tidak perlu diumbar atau diungkap secara kumpulan aksara, tapi dengan bahasa tubuhpun, cinta bisa menjadi bahasa yang luar biasa.
Menyaksikan keseluruhan film ini seperti menyaksikan sebuah perjalanan puisi yang disampaikan secara visual. Tidak banyak dialog bertele-tele, semua serba to the point tanpa kehilangan sedikit makna pun.
Semua pemeran di film ini juga sangat pas secara casting sehingga karakter-karakter yang diperankan dan ditampilkan di layar besar seperti hidup dan membuat penonton percaya atas perjalanan cerita dari karakter-karakter tersebut.
Sayangnya, secara kualitas sinematografi, film ini kurang tergarap begitu baik. Ada beberapa shot yang terlihat blur dan kotor di scene-scene yang minim cahaya. Padahal film yang berdurasi 105 menit ini mengandalkan visual untuk bertutur menyampaikan isi cerita.
Terlepas dari hal itu, film ini sangat sayang untuk dilewatkan. Menonton film Mouly Surya itu seperti membawa diri kita ke dunia baru hasil imajinasinya. Unik, tragis dan harapan adalah tiga kata yang menggambarkan film ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H