Anak-anak Cakung Sawah memang sangat sederhana. Tempat belajar yang jauh dari mewah. Di samping tempat belajar itu ada empang kecil dua tiga buah. Juga ditumbuhi pohon. Aku tidak tahu, apakah itu juga semacam jamban yang aku temui di ladang pertanian mereka, dengan lele di dalamnya. Aku malu bertanya.Tak jauh dari balik terpal coklat, tempat penahan tampias air hujan, ada kandang ayam. Beberapa anak ayam kecil di dalamnya. Mungkin milik adik Ester, Johanes dan Ondo, ketiganya anak Mama Yunita. Aku tidak perlu membayangkan bagaimana sanitasi di daerah tersebut. Gubuk-gubuk yang nir MCK. Sumur pompa hanya ada dua buah. Itu pun asin airnya. Untuk keperluan sehari-hari mereka membeli air di rumah Mama Lala. Dua jerigen Rp 1.200. Setara dengan 40 liter. ”Hanya rumah Mama Tia yang punya PAM,” ujar Rika. Pandanganku kembali ke anak-anak. Lina dan Lini, si kembar yang usil. Lini terutama. Selalu menggoda. Ekspresinya kalau di foto selalu dengan jari membentuk salam metal. Coklat emas warna kulitnya. Dan juga rambutnya. Nyaris mendekati merah. Tidak hanya Lina dan Lini yang berambut merah. Kuhitung ada delapan anak yang berambut merah tak sehat. Tumbuh tipis dan membuat penampilan mereka tak segar. Pertanyaan: kenapa...kenapa dan kenapa memenuhi benakku. Mengapa mereka berambut merah tak sehat? Apakah karena lingkungan yang buruk atau sanitasi yang jelek. Bisa jadi juga karena kurang gizi. Aku juga tidak sempat tanya ke Rika. Siang itu Ikka membawa banyak apel. Pendamping sendiri sudah menyiapkan dua tas kresek besar pisang masak, berwarna kuning. Meskipun terbiasa dengan kekurangan, mereka tak berebut pisang dan apel itu. Ah jadi ingat cerita monyet yang serakah.Monyet di beri dua pisang. Masih ingin lagi. Dia ambil satu digigit di mulutnya, dua tetap di tangan. Lalu dia tetap masih ingin. Dua pisang pun dijepit dengan kakinya. Aku selalu tertawa ingat cerita ini yang pernah disampaikan Daurie, temanku saat dia mengajar anak-anak jalanan di tempat lain. Dan anak-anak yang tadinya berebut, menjadi tertib seketika.Tapi di sini, mereka tidak berebut. Masing-masing tertib menuju ember merah berisi air di ujung depan sanggar belajar mereka. Membasuh tangannya, menyabun dan membilasnya. Tangan pun dikeringkan dengan dua serbet yang sudah disediakan. Pisang dimakan dan kulitnya dikumpulkan dalam kresek merah yang diletakkan di tengah. Apel mereka bawa pulang. Yang aku tahu kemudian, dibelah dan dimakan dengan anggota dua atau tiga keluarga yang lain. Tak sekedar penambahan gizi yang dilakukan Kak Debby dan teman-teman di sini ternyata. Mereka pun mencontohkan perilaku hidup sehat. Langkah kecil, tapi besar manfaatnya. Kali ini Apel dan pisang, kali lain susu, bubur kacang ijo, es buah atau bubur sunsum. “Kami juga mengajak mereka wisata setahun sekali. Ke Ragunan, Monas dan Kebun Raya Bogor,” ujar Kak Uju ,seorang pembina. Dari uang tabunganlah kegiatan rekreasi itu dijalankan. Tak hanya anak-anak yang menabung, meski hanya seratus dua ratus. Beberapa ibu-ibu pun menitipkan uangnya. Kadang seminggu sekali, kalau tak ada ya sebulan sekali. Nama mereka pun dipajang di dekat mading. Ada Nenek Sri Haryati, Mama Tia, Mama Mayang, Mama Zidan dan Mama Intan. Bulan itu tabungan mereka tertera Rp 4.000, Rp 9.000, Rp 10.000 dan paling banyak Mama Intan, Rp 30.000. Ah, tak hanya anak-anak yang belajar rupanya. Virus kebaikan itu juga menjalar ke orang tua. Sumber : http://matasasan.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H