Mohon tunggu...
Fetra VR
Fetra VR Mohon Tunggu... -

Mother of two, who feels helpless seeing her country which she loves dearly.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Logika di Dalam Jurnalistik

3 September 2011   17:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:16 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya dibesarkan dari keluarga Muhammadiyah. Mulai dari Ayah, Ibu sampai nenek saya semua pernah menjadi pengurus Muhammadiyah, Aisyiyah ataupun TK Busthanul Athfal walaupun hanya setingkat ranting. Bahkan nenek, masa baktinya (wih kayak pejabat aja) lebih lama dari Soeharto menjadi presiden di negara ini. Itu bukan karena nenek sangat berambisi menjadi ketua Aisyiyah, tapi karena memang jabatan itu tidak komersil, tidak ada duitnya, jadi setiap pemilihan ketua, selalu orang-orang menyodorkan kepada nenek saya, 'udah Ibu aja yang jadi ketuanya' he he.

Tapi bukan berarti kami anak cucunya didoktrin dengan harus menjadi anggota Muhammadiyah. Bahkan dalam kehidupan sehari2, terutama kedua orangtua saya yang berlatar belakang akademisi sangat menganjurkan untuk berfikir logis dan kritis terhadap apapun walaupun itu yang mengatakan orang tua sendiri. Hasilnya, memang tidak ada seorangpun dari 4 anaknya yang menjadi orang Muhammadiyah, saya seorang free agent (maksudnya tidak mengikut mana-mana golongan, bahkan dalam pemilupun termasuk golput ) yang melihat segala sesuatu mengutamakan logika bahkan satu adik saya memilih Syiah sebagai aliran yang diikuti, malah dia sudah sampai ke Iran segala.

Intinya, maksud saya untuk membuat mukaddimah background saya ialah saya berusaha untuk sejernih mungkin melihat suatu masalah dari sisi logika, tanpa terpengaruh latar belakang keluarga saya, yang mana saya rasa itu penting dalam masalah yang akan segera saya bahas di depan. Tapi kalaupun masih ada yang berpendapat bahwa opini saya ini bias, itu di luar kekuasaan saya.

Terus terang ini adalah tulisan pertama saya di Kompasiana, walaupun saya sudah register sejak tahun 2009, tapi saya tidak mengerti mengapa, mungkin karena saya jarang sign in, pas kemaren2 mau memberi komen tidak bisa, terus saya minta dikirimkan password baru, akhirnya bisa, tetapi tanggal yang tertulis awal saya bergabung menjadi member Kompasiana bukan yang tahun 2009 lagi tetapi tahun ini. Tapi itu bukan masalah.

Sejujurnya, yang membawa saya kembali ke Kompasiana adalah tulisan mas Jiddan yg kontroversial tentang lebaran di Arab Saudi tanggal 31 itu. Setelah membaca-baca sedikit sana sini dari komen2 orang lain, saya menjadi tahu serba sedikit tentang mas Jiddan yang merupakan Insinyur Perminyakan (ato tambang) di middle east (cmiiw). Dengan latar belakang itu saya rasa saya bisa bertanya/berdiskusi dengan mas Jiddan secara logika.

Mengenai topik berikut saya tidak akan  membahas dari sisi agama/ormas/metode penentuan 1 syawal, murni dari sisi logika jurnalistik (berhubung saya masih sangat-sangat awam dengan dunia jurnalistiklah, maka saya mohon masukan dari semua pembaca). Dan berikut point-point yang masih belum jelas di pikiran saya dan saya  mohon dengan sangat konfirmasi dari siapa saja (lebih baik lagi mas Jiddan sendiri kalau ada waktu)

1. Ditilik dari judulnya "Saudi Arabia: 1 Syawal adalah Rabu 31 Agustus 2011"

Saya rasa dari sisi jurnalistik, judul itu menunjukkan bahwa keputusan resmi pemerintah Arab Saudi bahwa 1 Syawal jatuh pada tanggal 31 Agustus 2011 bukan?.

Sama seperti kita menulis "Indonesia: 1 Syawal adalah Selasa 30 Agustus 2011" tentu saja tidak benar, walaupun sebagian rakyak Indonesia memang benar ada yang merayakan 1 Syawal 30 Agustus, tapi tetap tidak bisa membenarkan judul seperti itu. Kecuali judul ditambah kata "Sebagian".

2. Tulisan mas Jiddan berikutnya yang saya rasa merupakan counter dari komen2 pada artikel mas Jiddan tersebut di atas, mengenai taqlid buta, menurut saya  sangat-sangat tidak relevan, tidak pada tempatnya, karena yang dipermasalahkan bukan pada masalah agama, tapi murni pada sisi jurnalistik artikel mas Jiddan tersebut. Tapi jika artikel tersebut memang bukan untuk menkaunter komen di artikel Arab Saudi, yah tidak ada masalah, tapi (aduh! kebanyakan tapi) mencermati tulisan mas Jiddan tentang Arrahmah, yang menyuruh untuk melihat kembali tulisan-tulisan mas Jiddan setelah artikel Arab Saudi, rasanya memang masih berhubungan dengan artikel Arab Saudi itu (ini murni logika saya mas).

3. Pun, pada artikel mas Jiddan "Ketika sebuah tulisan menjadi kontroversi", saya masih tidak melihat hubungannya dengan pokok permasalahan yang sebenarnya. Dan maafkan akal saya yang hanya setipis kulit bawang ini, yang tidak mampu menangkap kesamaan analogi nabi Khaidir dengan permasalahan ini, dimohon berkenan untuk memberi penerangan kepada saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun