Suasana Surabaya pada November 1945 mencekam karena pasukan NICA mengultimatum warga untuk menyerah dan tidak melakukan perlawanan.Â
NICA yang membawa pasukan elit Gurkha akan melakukan serangan mematikan kepada siapa pun yang keluar rumah pada saat itu. Siapa tak kenal Gurkha? Â Pasukan yang memang dikenal sebagai petarung berpengalaman yang sulit ditaklukkan.
Begitu ditakutinya Gurkha, tiada seorang pun yang berani membuka pintu rumah. Selepas maghrib, gelap gulita melanda desa yang hanya disibukkan nyanyian binatang malam. Sorotan cahaya bermain di pos-pos militer untuk mengawasi gerakan mencurigakan yang berujung tembak di tempat.
Tak jauh dari pusat kota, laskar Hizbullah dan Sabilillah pimpinan KH Hasyim Ashari dan KH Masykur, mengumpulkan pasukan pada 21 Oktober 1945 di kantor ANO (Anshor Nahdhatul Oelama).Â
Mereka mengecam kembalinya pasukan Belanda yang membonceng Inggris (NICA) untuk menguasai NKRI. Ulama kharismatik memimpin perlawanan dengan sangat sengit dan menghadapi alat-alat tempur modern saat itu.
Untuk membangkitkan semangat jihad, KH Hasyim Asyh'ari yang sangat dihormati, menuliskan secarik kertas yang diberi nama "Resolusi Jihad".Â
Isinya adalah kewajiban bagi umat Islam dengan jarak tertentu untuk bertempur hingga titik darah penghabisan menghadapi pasukan elit Inggris dan Belanda. Resolusi ini adalah alasan untuk mempertahankan NKRI bagi rakyat Surabaya di tengah kondisi sosial politik saat itu yang tidak menentu.
Pihak Inggris (baca:Sekutu) mengakui keberadaan Republik Indonesia sebatas distrik Surabaya.
Pihak Inggris tidak akan membawa masuk pasukan Belanda dan tidak ada pasukan Belanda yang disusupkan pada pasukan Inggris yang mendarat di Surabaya.
Pasukan Inggris hanya dibolehkan berada pada radius 800 meter dari pelabuhan.