Mohon tunggu...
Gilang Mahadika
Gilang Mahadika Mohon Tunggu... Penulis - Social researcher

Graduate Fellow ARI-NUS (Asia Research Institute, National University of Singapore), AGSF (Asian Graduate Students Forum) 2021| Anthropology | Interested in Southeast Asian Studies

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Maut Hitam dan Kemurkaan Tuhan" Pandemi di Abad Pertengahan

16 Mei 2020   12:28 Diperbarui: 16 Mei 2020   14:07 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Danse Macabre berasal dari alegori Abad Pertengahan dalam wujud dansa kematian dan simbol bahwa manusia semua akan mati pada akhirnya.

Setelah wabah Justinian pada abad 600-an, kemunculan sejarah wabah pertama, kemudian the Black Death (Maut Hitam atau Wabah Hitam) atau wabah kedua yang muncul, dilihat dari sebutannya merupakan pandemi dengan tingkat mortalitas atau kematian terbesar yang terjadi pada abad pertengahan sejarah manusia. Wabah Hitam ini juga dianggap sebagai katastrofi terbesar yang pernah dialami oleh umat manusia dan telah berkontribusi sekitar 40% - 60% kematian yang terjadi di Eropa, Timur Tengah, dan Afrika Utara pada sekitar pertengahan abad ke-14 (Green, 2014: 9).

Kesulitan juga dialami oleh para multidisipliner dalam melacak asal-muasal Wabah Hitam atau bagaimana dan kapan kemunculan Wabah Hitam ini, entah disebabkan oleh gigitan kutu atau tikus, bahkan bagaimana dengan penyebarannya di Afrika, hingga sekarang masih dalam kajian. Namun, yang pasti Wabah Hitam atau penyakit pes (bubonic plague) ini tersebar melalui jalur perdagangan, dan para pedagang ini yang membantu dalam memperlancar penyebaran wabah pes ini (Green, 2014: 34). Dapat dilacak pada masyarakat Timur Tengah semenjak mereka mendomestikasi (menjinakkan) unta pada abad ke-14 dan 15 sebagai alat transportasi yang memberikan kontribusi besar perdagangan di Timur Tengah ini justru menjadi faktor penting bagaimana Wabah Hitam ini turut tersebar (Bulliet dalam Green, 2014: 34).

Gejala yang biasa dialami apabila seseorang terkena Wabah Hitam ini adalah darah dan nanah seketika merembes keluar dari akibat pembengkakan (atau biasa muncul bisul hitam bernanah), yang kemudian diikuti dengan gejala-gajala langu, seperti demam, muntah, diare, dan bahkan pusing kepala, hingga kematian. Wabah pes ini menyerang sistem limfatik dan mengakibatkan terbentuknya kelenjar getah bening, dan apabila tidak dirawat akan segera menyebar ke saluran darah dan paru-paru (History, 2020). Pada akhir abad ke-19, Alexander Yersin, pakar biologi Perancis yang menemukan temuan ilmiah bahwa Wabah Hitam ini disebar melalui bacillus atau yang disebut Yersina Pestis (History, 2020). Kemudian, mulai dikembangkan oleh mikrobiologi modern saat ini untuk direkonstruksi material genetik penyakit pesnya dari peninggalan historis abad Pertengahan (Green, 2014: 10).

Pada Abad Pertengahan seringkali juga disebut sebagai Abad Kegelapan, belum ditandai dengan adanya gerakan perubahan progresif kebudayaan dan tindakan rasional ilmiah untuk mengkaji sebuah wabah penyakit. Keadaan ini yang mengusik otoritas gereja harus memutuskan sesuatu untuk melindungi umatnya dengan mengadakan prosesi rogasi (upacara berdoa atau progation procession) (Gobel, 2017: 7). Namun, prosesi ini tidak diyakini dapat melindungi masyarakat dari kehancuran akibat wabah. Pada akhirnya, beberapa masyarakat semakin jelas dan meyakini wabah ini adalah hukuman Ilahi, sebuah retribusi dosa terhadap Tuhan karena penistaan, bidaah, perbuatan zina, dan lain sebagainya, sehingga memunculkan gerakan flagellant dalam merespon kegagalan otoritas gereja (Gobel, 2017: 7). 

Gerakan flagellant seperti dalam novel dan film Da Vinci Code (2003) adalah wujud respon yang berasal dari akar tradisi Kristen, flagellation (atau deraan) adalah cara penyiksaan yang suram dilakukan oleh diri kita sendiri dengan harapan membujuk Tuhan untuk memaafkan dosa kita, dan menghindarkan hukuman yang lebih besar di kehidupan ini dan di akhir kehidupan (Gobel, 2017: 7). Self-Flagellating (mendera diri sendiri) dilakukan dengan cara memukul punggung kita sendiri dengan bahan tali kulit yang berat ditatahkan dengan logam berat selagi orang-orang dapat melihat kita bersimbah darah di muka publik atau sendiri di suatu ruangan. Redaan sendiri juga dapat dianggap sebagai tindakan memeroleh penebusan dosa (redemption) dan sangat populer di tengah krisis wabah seperti ini.

Ilustrasi self-flagellating
Ilustrasi self-flagellating

Konsekuensi dari Wabah Hitam ini tidak hanya melahirkan kesadaran atas amarah Tuhan, melainkan juga terdapat inisiatif yang diyakini untuk mengatasi wabah ini dengan cara dilakukannya “pemurnian” (purging) dengan membinasakan orang-orang yang dianggap bidaah (heretics) dan mereka yang pembuat masalah (troublemakers), misalnya, seperti yang terjadi pada tahun 1348 dan 1349 pembantaian minoritas Yahudi di kota Catalan, Spanyol (Colet, dkk. 2014: 63). Mengingat bahwa di Catalonia, minoritas Yahudi yang memegang kendali status ekonomi bahkan sebelum wabah menyerang. Saat krisis melanda diakibatkan Maut Hitam yang mengakibatkan terjadinya ketidakstabilan ekonomi dan kelaparan, sebaliknya justru membuat minoritas Yahudi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan kredit (hutang), selagi para peminjamnya terjerumus dalam hutang untuk mengatasi kerugian yang terus-menerus tumbuh karena wabah (Abad dalam Colet, dkk. 2014: 69).

Masyarakat hidup di abad pertengahan menjadi studi yang cukup menarik terutama bagaimana masyarakat menanggapi sebuah pandemi yang muncul seperti Wabah Hitam ini. Abad pertengahan dipandang sebagai waktu di mana perang, kelaparan, dan terutama penyakit dianggap sebagai suatu ketakutan dan kepenatan karena tidak mengetahui skema untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan mekanisme yang rasional (Foucault, 2003: 108) dan perlu untuk menyandarkan diri kita pada entitas yang dapat menyelamatkan diri kita dari ketakutan ini, Tuhan.  

Keadaan ini yang memunculkan argumen dari Gregory Bateson (1977), bahwa terdapat kekeliruan epistemologis (epistemological errors) atau penyakit epistemologi (pathologies of epistemology) yang sangat sulit diubah karena telah merasuk dalam mekanisme berpikir manusia (Bateson, 1977: 480). Kecenderungan kita memandang fenomena seperti wabah, epidemi, atau pandemi saat ini terjadi diakibatkan dari kemurkaan Tuhan seperti yang dibayangkan oleh masyarakat di abad pertengahan. Pemahaman kita mengenai pandemi justru tidak merefleksikan manusia yang kehidupannya sangat berhubungan erat dengan keadaan alam di sekitar (embededdnes), oleh karenanya epistemological errors mengacu pada ketidakmampuan manusia dalam menghadapi kompleksitas yang disajikan oleh krisis ekologis, sosial dan ekonomi (Boehnert, 2018: 62).

Kita dapat mengetahui cara berpikir manusia dengan mengambil tanda seperti kemunculan wabah di sekitarnya, dengan memperlakukan kemunculan wabah tersebut dengan cara yang metaforis (Bateson, 1977: 484) atau dimaknai sedemikian rupa agar menjadi pedoman dalam bermasyarakat dan tujuan akhirnya manusia dapat tenang secara psikologis dalam menghadapi wabah tersebut. Hal tersebut dilakukan karena manusia membutuhkan ketenangan psikologis, seperti dalam menghadapi ketidakpastian adanya vaksin atau obat antibiotik yang dapat menumpas wabah tersebut. Seperti kemunculan gerakan flagellant, mencambuk diri sendiri, cukup mampu memberikan ketenangan kepada orang yang merasa tak kuasa dalam menghadapi tragedi yang tidak dapat dijelaskan pada abad pertengahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun