Pagi itu, sekitar pukul empat, bapak Hari tengah menyiapkan umpan untuk menangkap gurita hari ini. "Ini, kamu pake ini", singgungnya sambil menyodorkan celana joging panjang dan baju lengan panjang untuk kukenakan sebelum beranjak pergi.
Ia mengingatkanku bahwa ketika di tengah laut nanti, terik matahari akan mudah menyengat kulit sehingga Ia menyodorkanku pakaian yang dapat menyesuaikan dengan keadaan di siang harinya. Bekal telah disiapkan oleh istrinya diletakkan di sebuah keranjang, kemudian Pak Hari pun beranjak pergi dan mengajakku ke Pantai Timur untuk menyambangi sebuah perahu kecil miliknya.
Ia mengenalkanku perahu kecil miliknya yang biasa warga sini menyebutnya sebagai kapal speed (speed boat), hanya muat maksimal tiga orang. Dipadu warna biru dan putih sederhana, di badan perahu ini tertulis "Viola Putri" menggunakan cat merah, "Viola putri itu nama kapal bapak?", tanyaku kepada Pak Hari.
"Iya, aku ngasih nama itu sama kaya nama anakku Viola Putri", jawabnya sambil melepas tali-tali yang mengikat di kapal ini. Perahu "Viola Putri" milik Pak Hari ini akan mengenalkanku akan kehidupan laut untuk pertama kalinya berkecimpung di dalam kehidupan masyarakat nelayan, di Sendang Biru.
Pukul empat pagi tidak begitu banyak yang bisa aku lihat dengan telanjang mata. Gelapnya pagi, fajar belum bersinar, hanya terdengar percikan-percikan air yang memecah saat perahu ini menerjang ombak. Nyaringnya suara diesel yang dinyalakan dan percikan ombak seakan mereka saling memberi pesan kepada pagi untuk membangunkan matahari agar menunjukkan rupa sinarnya dari timur.
Lalu, sedikit demi sedikit kepala matahari pun terlihat bangun dari ufuk timur menyapa bendera merah-putih yang dikibarkan di atas perahu ini. Tak terasa kami juga semakin menjauhi daratan dan mulai dapat memandang dengan jelas luasnya lautan yang tak berujung ini.
Berdiri di atas padang lautan yang berombak untuk pertama kalinya membuatku mual. "Bapak sering mual kah ketika melaut?", tanyaku. "Kalo pas awal-awal iya, tapi karena sudah setiap harinya di laut, jadi sudah terbiasa", tuturnya sambil memegang kayak perahu.
Rumor pun bermunculan di tengah masyarakat nelayan kala itu, apabila yang memiliki golongan darah O cenderung dapat merasakan mual dan bahkan muntah dibandingkan dengan golongan darah selain O.
"Sampeyan (Anda) golongan darah O? Biasanya kalo golongan darah itu gampang mabuk. Aku juga O", jelasnya. Kemudian, terik matahari pun mulai bergerak perlahan hingga berdiri tepat di atas kepalaku, rasa panas mulai terasa di kulit saat itu.
Saat ini sedang menghadapi musim paceklik atau musim sulit memeroleh penghidupan yang tengah melanda kehidupan para nelayan Sendang Biru. Berjam-jam kami berdiri di tengah laut hanya bisa menunggu agar gurita pun terjerat umpan yang sudah diturunkan ke dasar laut. Hingga pukul satu siang kala itu hanya memeroleh tiga gurita ukuran kecil saja.
Pak Hari pun memutuskan untuk kembali ke dermaga karena tidak memeroleh hasil yang maksimal. "Gak entuk gurita, telu tok" (Tidak dapat gurita, tiga saja), singgungnya kepada temannya di pinggir pantai. Kami pun kembali ke rumah tanpa memeroleh penghasilan yang bisa dijual kepada pengambak (pengumpul ikan seperti tengkulak).
Tak bisa membayangkan apabila harus menyambung hidup sebagai nelayan  dengan pantangan-pantangan yang harus dihadapi setiap harinya. Para nelayan adalah mereka yang berdiri di garda depan lautan demi menyediakan ikan untuk kita.
Setidaknya Ini segelintir ilustrasi kehidupan yang ku dapatkan ketika mencoba hidup bersama nelayan di Sendang Biru, Kabupaten Malang. Beragam persoalan yang dihadapi oleh nelayan, semoga dapat menjadi refleksi pengetahuan akan perjuangan mereka setiap harinya menyambung hidup dengan menerjang ombak. Peace on Earth.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H