Mohon tunggu...
Gilang Mahadika
Gilang Mahadika Mohon Tunggu... Penulis - Social researcher

Graduate Fellow ARI-NUS (Asia Research Institute, National University of Singapore), AGSF (Asian Graduate Students Forum) 2021| Anthropology | Interested in Southeast Asian Studies

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Film "Wet Earth, Warm People Jakarta" (1971), Anomali Becak Kala Modernitas Menerjang

23 Desember 2017   14:17 Diperbarui: 23 Desember 2017   15:00 1566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://www.ooaworld.com/becak-jogja-jogjakarta-pedicabs-indonesiaphoto-portraits/

Sempat dosen saya menyuguhkan film dokumenter berjudul Wet Earth, Warm People Jakarta (1971) menyajikan segelintir kisah pada zaman pemerintahan Orde Baru yang berusaha menampilkan sisi lain dari kehidupan negara kita, adalah sisi masyarakat itu sendiri yang melakukan aktivitas sehari-harinya seperti mencari nafkah, berseni ria, melakukan ibadah, hingga bermain kesana-kemari seperti anak-anak kecil yang tak habis-habisnya diberdaya oleh pertunjukan wayang hingga teatrikal. Banyak sekali kejadian dan isu-isu yang terkumpul dalam sebuah film dokumenter ini yang mana berdurasi kurang dari satu jam. Saya menyinggung satu dari sekian kisah dalam film mengangkat kendaraan konvensional, becak yang terus menjadi soal hingga sekarang, barangkali.

Kisah dimulai dari seorang peneliti dan para rekan dokumenter hadir di Ibu Kota Indonesia, Jakarta, dini hari, di mana terlihat sudah ada becak-becak, kendaraan mesin roda empat berlalu-lalang di sepanjang jalan raya. Kisah lucu dimulai di mana peneliti berpapasan dengan para tukang becak yang mencari jalan pintas (shortcut), lalu polisi dengan sigap kala pagi itu untuk menangkap gerombolan tukang becak itu yang sedang ingin balik ke basecamp mereka.

Rekan-rekan dokumenter pun bertemu dengan salah satu informan tukang becak yang mampu lolos dari jeratan pelanggaran atas mengambil jalan pintas, lalu diajaknya bicara dirinya, saat itu rekan-rekan dokumenter menemukan suatu yang unik dari tukang becak. Rupanya, para becak tersebut diakomodir oleh salah satu perusahaan kapital yang bergerak secara ilegal, di mana terdapat salah seorang yang mengelola para pekerja yang pada satu malam bekerja, setelah itu mereka akan diberi upah paginya.

Becak tidak jarang bertabrakan dengan kepentingan aparatur negara, seperti kepolisian hingga pada tingkat lembaga eksekutif pun, presiden barangkali. Ketika rekan-rekan dokumenter mendapat kesempatan mewawancarai "Bapak", mereka menanyakan soal kendaraan konvensional ini yang sebenarnya ramah lingkungan, tidak mengeluarkan suara bising, tidak merusak jalan, dan tidak menimbulkan banyak risiko justru kebijakan yang dikeluarkan oleh "Bapak" berlawanan dengan mereka. Ketika itu, "Bapak" hanya merespon dengan suatu alasan yang tidak begitu jelas. Namun, pada film ini memberikan sebuah pemahaman di mana pemerintahan dalam mengenakan kacamata mereka sendiri sebenarnya menyimpan makna yang dalam, bahwa becak adalah sebuah representasi dari keterbelakangan (symbol of backwardness) dan perlu para tukang becak ini dipekerjakan dalam sektor buruh industri agar mencapai sebuah peradaban.

Becak seolah-olah kendaraan transportasi konvensional yang telah ada sebelum negara ini lahir. Saat telah berdiri sebuah negara, maka becak ini menjadi sebuah kendaraan yang dianggap anomali dan tidak sejajar dengan perkembangan zaman modern. Kisah perjalanan kendaraan konvensional ini seakan terasa ganjil kehadirannya di tengah pergerakan zaman yang tak terduga. Becak adalah sebuah anomali di tengah zaman yang begitu mengagungkan rasio di satu sisi, di sisi lain menimbulkan kehancuran ekologis dengan hadirnya kendaraan yang banyak mengeluarkan polusi. Memang ironis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun