Mohon tunggu...
Felisiana Shinta
Felisiana Shinta Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Me, My Adventures..

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tentang Corby, Korupsi, dan Peran Media

28 Mei 2012   07:37 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:41 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Beberapa hari ini kalau diperhatiin, twitter dan portal berita banyak membahas mempersoalkan Grasi yang diberikan oleh Presiden SBY kepada Corby. Kenapa??

Banyak yang mengkritik rencana presiden untuk memberikan grasi kepada Corby terutama dari kalangan para politikus. Entah karena memang dalam pandangan mereka grasi itu menyalahi aturan, entah karena pencitraan agar dianggap mewakili masyarakat yang menolak mariyuana/ganja, entah juga karena memanfaatkan momen di mana berita mengenai grasi Corby ini begitu dihebohkan.

Yep sodara-sodara, Indonesia memang tak pernah sepi dengan berita yang ‘dihebohkan’ ya..

Setahuku yang orang awam ini, grasi adalah hak prerogatif presiden dan setahu saya bahwa tidak hanya Corby saja lho yang dapat grasi, tetapi narapidana dari Nepal dan Jerman juga.

So, memangnya kenapa kalau presiden memakai hak-nya?? Dan yang lebih anehnya lagi, para politikus yang berkoar-koar di timeline itu menolak moratorium remisi untuk para koruptor, yang artinya mereka menolak hukuman berat dan maksimal untuk para koruptor. Nah lhoo.. ada apakah ini?!

Narkoba memang merusak masyarakat tapi grasi yang diberikan tidak memberikan Corby untuk bebas dari tahanan kok. Toh grasi diberikan setelah vonis diputuskan, dan ya, murni untuk alasan kemanusiaan. Kalau korupsi jelas berdampak lebih besar karena menyengsarakan rakyat secara keseluruhan dan kenyataannya sekarang? Hukuman bagi para koruptor itu amat sangat ringan jika dibandingkan dengan pencuri sendal. Dan di mana kah para politisi itu ketika pemerintah hendak membuat aturan ketat terhadap hukuman untuk para koruptor itu?

Miris kalau mendengar berita vonis hukuman untuk para koruptor yang terlampau ringan dengan denda yang sangat ringan pula jika dibandingkan dengan miliaran jumlah yang dikorupsi. Upaya pemerintah untuk memiskinkan koruptor pun banyak hambatan, ditambah rencana komisi III yang akan memangkas kewenangan KPK yang itu berarti, koruptor akan sangat bebas berkeliaran.

Opini-opini tersebut tentu diembuskan di media sosial dan dengan kekuatan media yang digalang secara besar-besaran oleh media massa—tentu kita tahu kalau beberapa stasiun tv swasta dan Koran di tanah air milik para politisi.

Ngomong-ngomong soal pers dan peran media, kenapa ya sekarang pers lebih mempercayai berita yang beredar di sosial media yang notabene menggiring opini masyarakat pada yang 'tidak semesti'nya ya?! Yang kebenaran berita itu perlu dibuktikan dan diverifikasi. Yang terjadi malah sebaliknya, berbondong-bondong banyak orang yang begitu mudah percaya dengan pemberitaan sehingga kemudian yang terjadi adalah 'penghakiman massal' di sosial media.

Saya pernah mendengar bahwa sebuah berita jika direpetisi secara kontinyu dan massif maka akan menjadi berita yang seolah-olah benar, padahal belum tentu terbukti kebenarannya. Dengan iklim demokrasi di Indonesia yang seperti sekarang ini,  jadinya pers 'membabi buta' dalam memberitakan sesuatu hal sesuai dengan kepentingan dari sisi komersialnya, keuntungan yang didapatkan dari sebuah pemberitaan. Entah itu mungkin dari segi animo masyarakat yang menyaksikan atau rating yang terus menanjak ataupun dari segi kepentingan pemilik modal/media—untuk kepentingan politik di masa yang akan datang..

Jadi esensi beritanya di mana?! Lagi-lagi kepentingan! Hadoohh, gw paling males nih klo udah nyinggung soal 'kepentingan' ini. Klo mau, yuk para pencari berita gak cuma heboh ngomongin grasi ke si Corby ini, tapi coba deh omongin soal kenapa hukuman koruptor bisa sangat ringan. Coba deh dukung usulan pemerintah yang berusaha untuk membuat aturan mengenai penghentian pengurangan hukuman bagi koruptor sehingga kita gak harus capek-capek mencaci para koruptor yang tak tahu malu itu. Seharusnya gak hanya sisi negatif yang diangkat dan dipersoalkan, seperti mengenai sikap presiden yang mungkin kita gak ngerti kenapa beliau harus membuat keputusan seperti itu.

So, berpikirlah objektif. Saya yakin presiden dipilih karena dia memiliki kapasitas yang mumpuni daripada orang-orang yang bisanya cuma mengkritik & memaki, terutama tanpa aksi.

Mungkin analogi presiden ke rakyat itu ibarat orang tua ke anaknya ya. Ortu buat keputusan untuk anaknya yang seringkali gak dimengerti oleh si anak itu sendiri. Anaknya marah bahwa ortu gak paham keinginan mereka.. tapi sebetulnya bukannya ortu gak mau, hanya saja dilakukan dengan jalan yang berbeda. Kalau kata temen, butuh perjuangan yang berdarah-darah sampai kita mengerti apa yang dimaksudkan.

Yup, itulah sekelebat dalam pandangan saya mengenai fenomena berita akhir-akhir ini. Adios Amigos!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun