Saya ingin bercerita tentang menganti sudut pandang dan cara berpikir kita, saya rasa ini sekarang sangat dibutuhkan oleh negeri ini. Jujur, terkadang banyak hal yang sebenarnya tidak perlu terjadi dan tidak akan terjadi tetapi kita menakutin diri sendiri dengan imaginasi kita dan pemikiran negatif kita. Lambat laut dari pemikiran tersebut akan mempengaruhi ucapan kita, penilaian kita, perbuatan kita dan akan menjadi kebiasaan kita. Saya ingin bercerita tentang sebuah kejadian yang saya alami ketika membeli nasi uduk, simple tapi patut menjadi perhatian kita.
Pagi hari seperti biasa saya suka membeli nasi uduk sama nenek yang berjualan di pasar dekat kontrakan rumah. Saya biasa membeli nasi uduk dengan telor dan bakwan jagung tanpa kerupuk, karena bagi saya kerupuk warna orange itu sangat menakutkan, tetapi tidak ngerti kenapa masih banyak yang memakannya dengan lahap. Sebungkus nasi uduk dengan telor dan bakwan jagung seharga Rp. 10.000, pagi itu sebelum saya beli ada satu pelanggan yang membeli dengan menu yang sama dengan saya tetapi cuma bayar Rp. 7.000,-.Â
Dalam hati saya "EEHHHHHH, kok begitu" Awalnya kesel kenapa saya ditagih lebih mahal, apa karena saya orang Tionghoa dan orang tadi bukan? (Ini proses diskriminasi yang diciptakan oleh saya sendiri, tetapi saya menerapkannya pada si Nenek, saya menuduh si Nenek diskriminasi tanpa tahu alasan dari si Nenek mempunyai dua harga yang berbeda). Sepanjang jalan saya kesel dan tidak habis pikir, saya pelanggan tetap tetapi selama ini saya membayar lebih mahal.Â
Setelah itu, saya lebih tenang dan mulai berpikir: 1) Apa mungkin orang tadi saudara atau tetangga si Nenek, sehingga di kasih lebih murah? 2) Apa mungkin orang tadi sebenarnya orang tidak mampu, sehingga si Nenek berbelas kasih dengan memberi potongan? Apapun alasannya, sejenak saya sadar kenapa juga saya bad mood dan menghabiskan energi, pikiran dan waktu saya untuk Rp.3.000.... aduh ga worthed banget.Â
Setelah itu, saya sibuk di kantor sampai lupa kejadian tersebut...saya bisa melanjutkan hari dengan lebih tenang dan pikiran tanpa emosi karena telah berpikir jernih. Apa yang terjadi bila saya masih mengerutu dan merasa diperlakukan tidak adil? Bisa jadi seharian saya tidak fokus kerja, salah dalam pekerjaan dan lainnya. Tentu saya bisa langsung menanyakan kepada si Nenek kenapa dia bayar lebih murah? Tetapi entah kenapa sebagai orang Indonesia dengan budaya yang santun, saya segan dan tidak mau memaksakan si Nenek untuk bercerita alasan dibaliknya.Â
Dan setiap hari seperti biasa saya membeli nasi uduk sama si Nenek dan tidak pernah ambil pusing si Nenek mau jual berapa orang lain. Toh, saya suka dengan masakannya dan menurut saya harga yang saya bayar sesuai dengan apa yang saya dapatkan. Itu sudah cukup, tidak usah peduli si Nenek mau jual berapa. Kenapa saya teringat cerita ini, sebenarnya hampir sama dengan comment salah satu pembaca artikel saya sebelumnya mengatakan bahwa "dia merasa toko yang pernah dikunjunginya dengan pemilik orang Tionghoa, jangan merasa turun pangkat dengan melayani pelanggan orang non Tionghoa dan menyuruh karyawan untuk melayani dia. Tetapi beda dengan orang Tionghoa yang datang akan dilayani langsung oleh Pemilik Toko"Â
Mendengar komentar dia, saya langsung teringat kejadian nasi uduk si Nenek ini, padahal dah lupa :D....Nah, selama saya membeli barang di toko yang punya banyak karyawan toko dengan bos orang TIonghoa atau non Tionghoa...saya selalu dilayani oleh karyawan toko dan si bosnya duduk di kasir main HP atau sibuk hitung nota...jarang sekali dilayani langsung oleh si Bos. Jadi, saya rasa ada beberapa sebab 1) Kemungkinan besar si Pemilik Toko capek dan menyuruh karyawan melayani...kan emang pekerjaannya si penjaga toko 2) Kemungkinan pelanggan Tionghoa yang datang adalah saudara atau teman dari si Pemilik Toko.Â
Saya sering ketemu enci enci yang cuek dan jutek ketika saya akan membayar, meskipun saya sama sama orang TIonghoa...jadi ya sangat tidak mungkin ada merasa turun pangkat melayani orang yang beda ras, bagaimanapun juga masyarakat dari non TIonghoa itu lebih banyak, apapun alasannya dibalik itu...sebaiknya kita tidak memikirkan hal yang negatif, memikirkan bahwa ada terjadi turun pangkat atau sejenisnya...kenapa harus ada tingkatan dan pangkat, padahal kita semuanya penduduk negara yang sama dan mempunyai HAM dan derajat yang sama, jadi kita telah mengecilkan diri sendiri dengan berpikiran seperti itu. Selain itu berpikir negatif yang rugi ada diri sendiri, kita menjadi bad mood, kesel dan jengkel....
Sekian tulisan dari Saya
SalamÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H