Ketika membaca tulisan Ahok yang dihakimi karena suka marah-marah, ngomel dan terkesan arogan. Saya jadi kepikiran mengenai ketika saya bersama teman makan di sebuah restoran di mall. Setelah melihat menu dengan foto yang "terkesan enak" membuat saya sangat tertarik dan memiliki harapan bahwa hasilnya akan sesuai foto.
Setelah lama menunggu dan makanan pesanan dikeluarkan saya sangat kecewa dan saya komplain kepada pelayannnya. Tetapi hasilnya saya malah capek berdebat dan mau diganti menu lain, cuma saya sudah tidak tertarik untuk menganti pesanan saya, karena sudah tidak nyaman dilihatin orang orang dan seakan saya "sengaja mempersulit" sebuah keadaan ...apalagi saya tidak yakin dengan pesanan berikutnya bakal seperti apa.Â
Yang menarik adalah ketika saya komplain karena makanan berbeda jauh dengan foto, saya sering menganggap kalau ini adalah sebuah penipuan. Tetapi teman-teman saya tidak merasa seperti itu, malah saya dibilang sudahlah, ngapain marah-marah juga. Saya menegaskan kalau saya tidak marah cuma meluruskan sesuatu yang salah.Â
Dalam hal ini, saya bersikukuh terhadap sesuatu yang benar, tetapi karena "mungkin" masyarakat kita sangat toleransi dan simpatik terhadap "orang yang pinter berekspresi kasihan, muka memelas" sehingga yang benar bisa jadi salah dan yang salah malah mendapatkan dukungan. Aneh tapi nyata. Itu yang membuat saya selalu "play safe" bila makan hanya ke restoran yang sudah terbukti dan kalau ke restoran baru akan milih menu yang sudah umum.Â
Tentu yang terjadi pada saya adalah hal kecil bila dibandingkan dengan Pak Ahok yang mengurusi satu provinsi. Tetapi masyarakat yang menilai kami adalah masyarakat yang sama, ketika kita emosi dan meluruskan sesuatu salah kita "diharuskan" dengan sopan dan santun serta bertutur kata baik akan lebih baik lagi kalau tidak usah komplain dan enjoy aja apapaun itu. Tetapi apakah akan efektif? Restoran akan berubah atau misalkan sebuah birokrasi akan mengubah kebiasaannya selama bertahun-tahun dengan pendekatan yang santun? Saya rasa mungkin, tapi kemungkinan rendah dan butuh waktu yang sangat lama.Â
Kembali ke acara makan-makan, teman saya lalu bercerita kalau misal kamu tidak suka dengan sebuah restoran tidak usah dikoreksi tetapi kamu hanya tidak usah memilih restoran tersebut lagi. Lanjut teman saya, sering kali pelayan tidak siap dengan komplain kustomer dan itu juga bukan hasil masakan mereka. Kalau misal diganti menu baru, kamu bisa mastikan bahwa makanan kamu tidak "dikasih bumbu khusus sepeti ludah atau lainnya" akibat sakit hati di komplain. Sejenak saya langsung sadar dan memikirkan saran dari teman saya.Â
Kalau dipikirkan, gubernur sebelum Ahok dan Jokowi semuanya bermain aman, birokrasi tetap jalan siapapun gubernurnya. Tetapi sampai kapan Jakarta bisa maju...kalau masyarakat dan pemeritah tidak siap mengalami perubahan, kritikan, membenarkan yang salah. Dari situ saya sadar kalau banyak sekali orang yang lebih suka bermain aman, takut menyingung orang lain, takut orang lain dendam dan lainnya. Tetapi hanya Ahok, gubernur yang berani berpegang prinsip SALAH adalah SALAH, BENAR adalah BENAR. SALAH tidak akan menjadi BENAR meskipun orang yang melakukan kesalahan pintar memelas, menangis depan kamera dan mencari simpatik. BENAR tidak akan menjadi SALAH bila kebenaran itu ditentang banyak orang, dihakimi.Â
Bangkok, Singapore, Kuala Lumpur semua sudah mempunyai transportasi umum yang lebih maju, tetapi Jakarta baru mulai membangun MRT, LRT meski telat tetapi paling tidak sudah dikerjakan, Jakarta sudah kehilangan berapa puluh tahun pembangunan akibat Pemimpin yang bermain aman...Jadi, itulah alasan kenapa Ahok sangat disayang oleh masyarakat Jakarta, seorang pemimpin yang tegas dan mampu mengeksekusi program di Lapangan dengan transparan dan berani.Â
Salam Sejahtera untuk Kota Jakarta tercinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H