Siapkan serapah! Siapkan hujatan yang paling pedas! Siapkan caci-maki yang paling menyakitkan. Siapkan catatan-catatan yang menggurui dan terlihat cerdas dan paham! Siapkan alasan-alasan yang seolah-olah masuk akal dan benar! Dan yang paling penting dari semuanya, siapkan binatang yang paling disukai dan popular: kambing hitam.
[caption id="attachment_347548" align="aligncenter" width="500" caption="Akankah kegembiraan dalam foto ini akan lumat oleh"][/caption]
NAGA-NAGANYA, Timnas sepakbola U-19 yang sebelumnya digadang sebagai tim masa depan bola Indonesia, bakal menerima kenyataan pahit di negerinya sendiri. Kebiasaan pejabat, pengamat, dan penasehat yang biasanya duduk manis di birokrasi dan organisasi, selalu berkelit dengan lincah, berkoar di media dan –saya ulang—mencari kambing hitam. Seolah semua yang sudah dilakukan oleh Timnas U-19 kemudian menjadi sebuah aib dan kesalahan besar yang [wajib] dicaci maki. Padahal ketika sukses, semua berebut panggung seolah merasa berandil dalam kiprahnya.
Saya hanya penyuka sepakbola, lazimnya laki-laki penggemar lainnya. Bukan pemilik fanatisme gila-gilaan, yang kemudian mengubah saya menjadi pengamat dadakan dan “pelatih” sekejab. Berceloteh soal taktik, “harusnya begini” atau “harusnya begitu” yang tidak jelas. Tapi itulah yang sering dan banyak terjadi di negeri ini. Dalam realitas sosial yang saya amati beberapa tahun [dan sudah menjadi buku –penulis], pemuja, dalam sedetik menjadi penghujat.
Saya tertarik menyoroti U-19, karena prosesi mereka ke level dunia, sebenarnya juga naik turun, termasuk diperlakukan tak enak oleh induk organisasinya. Tapi mereka juga banyak mendapat limpahan sorotan ketika sempat menuai prestasi menarik dan memberi harapan sebelumnya di Piala AFF U-19. Impiannya memang masuk Piala Dunia U-20, yang syaratnya adalah harus lolos 4 besar di Piala Asia yang saat ini berlangsung di Myanmar. Sayang, harapan itu belum terpenuhi sekarang. Lalu, mereka gitu yang salah?
Saya tak ingin bicara soal Timnas U-19, tapi lebih kepada sikap yang dipertontonan banyak orang menyikapi kegagalan mereka. Ada yang menyebut langsung ‘manajemen warteg’ sebagai biang kerok, arogansi Indra Safri, pelatnas kepanjangan, dimanja oleh media, eksploitasi televisi, dan bermacam-macam. Intinya, setelah kegagalan, seolah semua borok keluar dan itu menjadi “benar”.
Betapa kita tak pernah menyadari arti dari kata “harapan”. Betapa kita selalu meremehkan arti kata “perjuangan”. Kita juga menganggap enteng arti “doa”. Harapan itu selalu ada, bahkan dalam kondisi yang sedang gelap sekalipun. Timnas U-19 [dan adik-adinya nanti] buat saya adalah manifesto dari “harapan.” Mungkin sedang kuncup dan perlu disiram lagi, tapi jangan langsung dipatahkan rantingnya. Selalu ada harapan bahkan ketika dianggap sedang berada pada level kegagalan terburuk sekalipun.
“Perjuangan” juga diremehkan. Seolah apa yang sudah dipertontonkan dengan melakukan yang terbaik, meski belum barhasil, adalah kekurangsiapan. Bahkan, seorang Superman atau Iron Man yang punya kekuatan ‘khayali’ super pun punya persiapan untuk memakai tenaga supernya. Sudahlah, jangan remehkan rasa kebangsaan dan nasionalisme –kalau itu kemudian juha disebut-sebut sebagai biang kerok. Sudahlah, segera evaluasi dan cari jalan terbaik, tanpa harus merasa perlu “mengorbankan” satu harapan yang sudah kita punya.
“Doa” adalah itikad selanjutnya. Pemahaman saya, “doa” adalah sebuah permohonan yang kita ucapkan kepada siapapun “DIA” yang kita anggap punya “kuasa” memberikan energi lebih. Jelas berbeda-beda kepada ‘siapanya’ tapi itu tidak penting, karena ketika sudah diucapkan, tujuannya Cuma satu: kekuatan yang melingkar. Tak terputus dan sambung menyambung. Harapannya, bisa menjadi “daya linuwih” ketika sudah dipanjatkan. Soal kemudian tidak [atau belum] berhasil, rasanya kita tak serta merta langsung menjadi penghujat “Dia” juga bukan.
Kalau Anda [dan kita] masih tidak bisa memahami “harapan” – “perjuangan” – dan “doa” tadi, seperti yang saya tulis di awal tulisan ini, siapkan saja segala hal yang berhubungan dengan kambing hitam. Sekadar mengingatkan: sekali Anda menghujat, kekuatan melingkar itu, akan membelah dan melemah. Memang tak ada gading yang tak retak, tapi gading retak masih bisa diperbaiki biar tidak terbelah kok.
#tulisan ini juga diunggah di blog pribadi: airputihku.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H