SELAMAT mendekati titik akhir. Ketika riweuh dengan semua pernak-pernak pesta pergantian tahun, sebenarnya kita sedang mempersiapkan titik akhir. Tidak bicara soal kematian, tapi lebih kepada pengenalan diri kembali. Seberapa dekat sih kita dengan diri kita sendiri?
BANYAK dari kita yang menganggap, modern adalah lambang kemajuan yang amat sangat. Ketika kita dianggap terlambat mengenal apa yang dikenal dengan modernisasi itu, langsung tudingan lelet, kuno, jadul, menerpa. Ketika si kuno itu dimunculkan, akhirnya hanya menjadi klangenan, tapi bukan kebijaksanaan. Lalu bagaimana kebijaksanaan sebagai manusia [sadarkah, Anda masih manusia?] dimunculkan? Jika Anda lunak terhadap diri sendiri, maka kehidupan akan keras terhadap Anda. Akan tetapi bila Anda keras terhadap diri sendiri, maka kehidupan akan menjadi lunak. Bagaimana Anda memaknai filosofi keras dan lunak itu? Ada ilustrasi begini: di pedalaman hutan Amazon, ada banyak suku yang belum tersentuh peradaban. Saya lebih setuju membiarkan mereka tetap dalam keterasingannya. Tidak manusiawikah saya? Salah satunya adalah Suku Xingu. Kalau Anda mencari informasi tentang suku ini, yang muncul adalah ‘ketelanjangan’ dalam arti sesungguhnya. Di suku ini, telanjang adalah kenikmatan dan peradaban. Mereka melepaskan benak kotor dan pandangan cabul birahi oleh manusia modern. Ketika dilihat oleh manusia modern, mereka kemudian menjadi objek, sekadar untuk melihat bahwa [ternyata] masih ada masa lalu di masa kini yang serba hebat. Pernahkah kita tahu filosofi ketelanjangan mereka? Bahwa mereka sejatinya mengatakan hidup adalah ketelanjangan, tidak usah palsu dan menikmati jati diri dengan nyaman. Hal yang selama ini disadari atau tidak, menjadi selimut manusia yang dihebatkan. Lalu untuk apa mereka dijadikan objek, kemudian “dipaksa” untuk berpose dan jadi tontonan? Perjalanan waktu itu bukan tontonan, justru pembelajaran. Setiap pergantian tahun, Anda dan saya mungkin selalu memiliki resolusi yang positif. Tapi resolusi tanpa tindakan adalah sia-sia, mimpi tanpa perbuatan juga akan menjadi omong kosong. Berganti hari, berganti waktu, yang harusnya tetap adalah orisinalitas dan kesederhanaan. Menjadi lebih baik itu pasti, tapi menjadi manusia yang “telanjang” dan apa adanya, tanpa kepalsuan, jauh lebih penting ketimbang resolusi muluk tentang hedonis Anda. Satu hal yang bisa jadi noktah pemikiran kita: jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitar Anda dengan penuh kesadaran. Mari kita "telanjang" dengan ke-ada-an, bukan pura-pura "berpakaian" dengan kepalsuan. Selamat mendekati titik akhir. Selamat berkenalan [lagi] dengan diri sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H