Di kalangan jurnalis musik –artinya yang benar-benar menulis soal musik dan industrinya—nama Theodore KS [kemudian saya tulis Theo], termasuk nama yang dihormati. Bukan hanya karena kualitas tulisannya, tapi karena pergaulannya yang detil dengan banyak pelaku industri musik, masa lalu dan masa kini. Jadi ketika semua tulisannya –yang amat detil itu—dinarasikan menjadi buku, industri musik harus merasa beruntung.
[caption id="attachment_307884" align="alignright" width="240" caption="Rock N Roll Industri Musik Indonesia -- Foto: Dok.Pribadi"][/caption]
DALAM beberapa kali tulisan saya di blog, media online atau majalah, nyaris tidak bosan saya “berteriak” kelemahan industri musik Indonesia salah satunya adalah pendokumentasian sejarah. Hal itu saya alami ketika menyusun tulisan, yang rencana awalnya ingin saya buat buku, tentang perkembangan musik Indonesia dari tahun 1950-2000. Tak banyak data literatur yang tersedia, kalau pun toh saya mencari di internet, nongolnya adalah wawancara-wawancara saya dengan para pelaku industri musik. Yang artinya, tulisan-tulisan saya juga.
Kabar tulisan Theo bakal dibukukan sebenarnya sudah saya dengar lama. Tapi ketika muncul benttuk fisiknya, saya tetap saja merasa surprise. Ulasan-ulasannya tentang musik Indonesia yang biasanya muncukl di Kompas Minggu, langsung bermunculan lagi di kepala saya. Bagaimana tidak, secara tidak langsung Theo sudah mengajari saya dan mungkin banyak jurnalis musik lain, untuk sadar dengan dokumentasi, seremeh apapun itu.
“Selama 36 tahun [1975-2001] sebagai wartawan dan menyandang sebutan “penulis masalah industri musik” sejak tahun 1985, saya tertantang menulis sebuah buku tentang industri musik negeri ini,” begitulah pengantar yang dituliskan Theo di awal buku. Sebuah kredo dari kegelisahan seorang wartawan, tentang keinginan menulis buku. Saya jadi teringat ungkapan seorang penulis biografi terkenal –kebetulan juga wartawan Kompas—Julius Pour. Kepada saya Pour mengatakan: “Wartawan yang tidak menulis buku, adalah seperti raja tapi tanpa mahkota”. Dan kini, Theo membuat kalimat itu jadi makin sahih.
Tahukah Anda, perintis industri rekaman pertama di Indonesia? Bahkan banyak musisi terkenal pun gagap ketika ditanyakan hal itu. Dan sejarah itu dicentang lewat Masa PH Masa Perawan [hal. 5 s/d hal. 53]. Kita seperti belajar sejarah di sekolah, tapi dengan nama-nama yang relevansinya dengan musik amat lekat. Ada cerita soal Sujoso Karsono atau mas Yos, seorang Komodor pilot AU, yang mendirikan The Indonesian Music Company Limited tahun 1951.Kemudian banyak data berjejer tentang perkembangan piringan hitam di Indonesia. Theo juga menyodorkan cerita-cerita lahir dan terbentuknya Koes Plus, Dara Puspita, Eka Sapta, Bing Slamet, Alfian hingga Diah Iskandar.Nama-nama yang mungkin akan dijawab dengan gelengan kepala kalau ditanyakan kepada musisi atau jurnalis musik sekarang.
Tulisan bergeser pada era emas kaset. Tahun 1960an akhir, disebut Theo dalam tulisannya, sebagai era kaset yang serba wow [hal. 57]. Kata wow disini, sebenarnya menggambarkan paradoksal, wow dalam kuantitas, tapi sekaligus wow dalam pelanggaran hak cipta. Rupanya yang namanya pelanggaran hak cipta di musik Indonesia, sudah mendarah daging sejak lama. Masalah yang sampai sekarang masih menggelayuti industri musik Indonesia. Oh ya, satu hal yang menarik di kupasan ini adalah kemarahn Rinto Harahap ketika lagu-lagunya dituding “cengeng” oleh Harmoko [ketika itu Menteri Penerangan]. Salah satu pernyataan Rinto Harahap yang ketika itu nyaris semua lagunya meledak adalah: “....jika Harmoko mengatakan laguku terlalu sendu, aku masih bisa terima. Tapi cengeng? Ah! Alangkah rendah pilihan kata-katanya!” [hal. 70].
Catatan soal royalty, termasuk lahirnya Asiri, PAPPRI, YKCI, AMI dan Wami, juga jadi poris yang cukup panjang. Theo tampaknya ingin lengkap, dari perkembangan musikalitasnya, hingga “kebusukan” soal royalty dan pembajakan [hal. 127]. Disambung dengan meledaknya keriuhan industri musik lewat banyaknya festival musik yang juga dirintis dari tahun 80an lewat Log Zhelebour dengan Festival Rock-nya, hingga Java Jazz Festival dan Soundrenaline di era 2000an. [hal. 247]. Satu hal yang saya cermati dan pelajari adalah, Theodore KS ini termasuk pencatat yang baik. Peristiwa-peristiwa kecil, yang mungkin untuk sebagian orang dianggap remeh, terdokumentasi dengan baik. Oh ya, buku ini juga dilengkapi dengan beberapa foto-foto dalam Galeri [hal. 177]. Paling tidak membawa kita pada suasana industri musik tahun 60, 70, hingga 90an.
Akhirnya, saya harus mengatakan seharusnya buku ini berjudul “Pengantar Industri Musik Indonesia”. Membaca buku ini hingga tuntas, saya seperti mahasiswa baru yang jago main musik, tapi tidak tahu apa-apa soal musik Indonesia. Kalau Anda lebih jago dan paham musik luar negeri, buku ini harusnya membuat Anda malu. Industri musik Indonesia, ternyata tidak kalah mengkilap. Bukan lebay kalau saya mengatakan, buku ini seperti harta karun yang tertemukan.
Sedikit Data Teknisnya:
Judul : Rock ‘N Roll Industri Musik Indonesia – Dari Analog ke Digital
Penulis : Theodore KS
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Halaman : 391 Halaman + XV
Bulan/Tahun : November 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H