SAYA bukan penggila prog-rock. Hanya penyuka saja. Saya juga tidak terlalu banyak mengoleksi album-album prog-rock, baik band luar atau band lokal. Jadi, aliran ini saya sukai, mesti tidak fanatik. Ada kawan saya yang “sadis” dalam memuja band-band prog-rock ini. Sampai semua atributnya “harus” berbau prog-rock. Tapi saya suka menonton konser atau event-event prog-rock. Dan sebagai penyuka, saya punya catatan kritis soal itu.
+++
Di kancah musik Indonesia, progressive rock sebenarnya punya penggawa-penggawa yang amat bisa dibanggakan. Banyak musisi yang menyatakan diri bermain di area itu, adalah musisi yang sering disebut punya skill mumpuni [kalau tidak mau dibilang di atas rata-rata]. Anggapan yang bisa saja salah, karena mungkin awam melihat aksi mereka ketika manggung yang terlihat njlimet dengan komposisi berdurasi panjang. Dalam sebuah obrolan santai berrsama beberapa kawan, ada celetukan, semakin rumit dan panjang komposisi, semakin progressive-lah dia. Begitukah?
Beberapa wakltu lalu, saya mendatangi acara yang khusus dibuat untuk komunitas prog-rock. Bayangan saya adalah, acara ini seperti reuni kecil musisi-musisi yang menyebut dirinya prog-rock. Nama-nama yang tampil punya sudah muncul di bayangan saya, bahkan sebelum blast-iklannya muncul. Tidak jauh-jauh dari Pendulum, Imanissimo, In Memorian, Montecristo. Sayangnya, dedengkot prog-rockDiscuss ternyata tidak masuk dalam line-up. Ada nama-nama lain yang baru, tapi ada nama yang disebut malah tidak jadi main.
Saya tidak akan membahas komposisi, karena bisa ditertawakan oleh pentolan-pentolan prog-rock yang mungkin [iseng] membaca blog tidak penting ini. Saya menyoroti genre yang seperti pria tua kesepian. Sesekali cucunya nengok, tapi lebih banyak ditinggal sendirian. Mengapa saya melihat prog-rock adalah si hebat yang kesepian ya?
Sejatinya, mereka adalah musisi yang memberikan “pertempuran” baru yang –konon—mencerdaskan. Dalam area yang berbeda, musik seperti itu kadang-kadang dijuluki musik NEOPOSITIVISME, yang lahir dari satu sumber pengetahuan, yaitu pengalaman. Musik ini bukan musik yang membingungkan dan membosankan. Karena mereka penganut empirisme logis yang bisa dijelaskan. Bukan sekadar pamer keahlian yang membabibuta sebenarnya.
Akulturasi musikal itu, sebenarnya adalah anutan aliran ini. Bercengkerama dengan musik-musik tradisional, kemudian merapikan distorsi menjadi tidak sekadar meraung-raung, tapi memberinya estetika yang lebih indah. Liriknya juga beragam, dari soal filsafat, keuangan dunia, perang, hingga cinta. Lahirnya lirik-lirik seperti ini juga dipahami sebagai cara untuk menyampaikan pesan diluar pesan cinta yang biasanya bahasanya lebih mudah dan renyah.
Helatan apapun di Indonesia yang berbau-bau prog-rock, sayangnya masih menjadi sekadar keramaian dan pertemuan musisi-musisi njlimet itu. Saling support penting, tapi kalau itu-itu saja dan tidak punya strategi untuk lebih memberi ruang terbuka kepada publik untuk mengapresiasi, prog-rock hanya akan menjadi prog-ame-ame [masih untung tidak ditambahin ‘belalang kupu-kupu’ juga]. Prog-AmeAme adalah progressive rock yang [sekadar] rame-rame, tapi tak memberi aksentuasi lebih kepada komunitas musiknya sendiri. Si hebat yang kesepian. Sayang sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H