SIAPA bilang musisi Indonesia kacangan? Dari banyak lini, tidak sedikit musisi Indonesia yang menjadi perbincangan di dunia musik internasional. Prestasinya tidak bisa diremehkan. Misalnya Kenan Loui Widjaya – anak muda yang menjadi juara dunia electone, Gugun & The Blues Shelter dan Free On Saturday yang menjadi kampiun mewakili Indonesia tampil di HardRock Calling bareng musisi-musisi kelas dunia. Lalu mengapa mereka kebingungan di industri yang kelimpungan ya?
+++
SEBUAH pernyataan dari seorang musisi rock Indonesia, cukup menggelitik saya. Dia mengatakan, “Kita kebingungan sebenarnya, ketika band-band bagus dapat penilaian oke dimana-mana, tapi di negaranya sendiri malah tidak mendapat sambutan yang seharusnya. Biasa-biasa saja.” Tak hanya berhenti disitu kebingungan musisi tersebut,”Yang dapat review keren di luarnegeri, ketika balik ke Indonesia seolah malah tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada impact apa-apa ke individu atau kelompok musik lainnya.”
Oke, mari kita menoleh sebentar ke industri musiknya. Saya pernah menulis, bahwa industri musik Indonesia, tidak seindah yang tampak dan dipamerkan artis atau musisi anggotanya. Tahukah Anda, kalau kerugian soal ilegal download menembus angka 6 milyar sehari? Tahukah Anda kalau ilegal download sudah mencapai 99%. Tinggal tunggu saja kapan hal-hal yang ilegal itu bertahta dan menjadi pemegang saham mayoritas.
Hadirnya “CD bajakan” dalam list belanja anak muda, membuat industri musik Indonesia gundah gulana. Sebuah keadaan yang membuat “Belanja Terus Sampai Mati” dari Efek Rumah Kaca terdengar lebih menyeramkan bagi para pelaku industri musik Indonesia. Jika saja CD original yang masuk dalam daftar belanja, mungkin lagu itu akan terdengar sebagai harapan menyejukkan di tengah-tengah kusutnya penegakan undang-undang hak cipta.
Ini memang seperti David melawan Goliath. Industri yang lempeng dan main cantik, tentu akan dikanibalisasi perusahaan seniornya. Dengan catatan: hanya bisa nge-push, tapi nggak pernah ada solusi terang. Artinya juga, sebenarnya perusahaan-perusahaan musikal itu juga sedang melihat celah apalagi yang bisa dikeruk. Dikeruk disini lebih kepada mencari peluang untuk menyusup. Mengandalkan hal-hal standar dan mainstream, rasanya terlalu bodoh dan naif sekarang ini.
Dalam sebuah obrolan santai dengan sesorang yang dianggap sesepuh di industri musik Indonesia, saya engambil kesimpulan bahwa industri musik juga sedang kebingungan sekarang ini. Entah bingung dengan pembajak –isu yang basi, ilegal download, atau kebingungan mengapa industri dan musikalitasnya sudah tidak bisa dipegang lagi. Semua seperti bola liar yang mental kesana-kemari. Tidak adanya dukungan resmi dan jelas dari pemerintah kepada seniman dan musisi, menambah “kepuyengan” mereka. Padahal ranah ini kerap mengharumkan nama Indonesia di jagat yang lebih luas.
Kalau presidennya saja cuek ketika albumnya dibajak, di-ilegal download, bagaimana dengan musisi-musisi yang jelas-jelas tidak punya power untuk mengubah kebijakan? Keluhan basi sebenarnya, tapi tetap harus diingatkan supaya tetap bisa bergaung tidak hilang seperti bau kentut. Padahal, dari data yang penulis dapat, Indonesia kehilangan 600 miliar pertahun gara-gara website musik ilegal. Mau tahu angka kerugian yang ditimbulkan pembajak musik setiap tahunnya? Dan angkanya pasti meningkat. Tapi jangan terkejut, kalau kisaran 2 triliun setiap tahunnya terenggut. Musisi untung? Boro-boro, karena mereka hanya mengandalkan angka-angka dari label dan job manggung yang sukur-sukur kenceng.
Ketika seorang musisi yang beberapa kali manggung di luarnegeri mengeluh, saya jadi bertanya-tanya: apa yang sebenarnya terjadi di balik semua angka normatif yang terpampang di data-data asosiasi musik Indonesia? Benarkah ada “orang dalam” yang begitu tolol mengkhianati musik Indonesia dengan menjadi “agen ganda” pembajak dan industri resmi? Rasanya kok bodoh sekali kalau ada yang bermain-main seperti itu, meski angka yang terpampang amatlah tinggi dan menggiurkan.
++
Musisi yang punya karakter bagus, musikalitas mumpuni, bahkan diakui karyanya tidak hanya di kampungnya sendiri saja mengaku masih kebingungan, mengapa musiknya sulit banget diapresiasi bangsanya sendiri. Menjadi pertanyaan menarik, apakah musisi masih perlu dan butuh diapresiasi tapi nasibnya beigitu-begitu saja?