Mohon tunggu...
Didit dit
Didit dit Mohon Tunggu... Guru -

mensyukuri hidup dengan cara menjalaninya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Laki-laki Pembangun Jembatan

29 Mei 2015   06:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:29 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu yang lalu saya menyaksikan tayangan di TVRI, sebuah talkshow yang menghadirkan seorang laki-laki pekerja sosial yang namanya kalah tenar dengan Agnez Monica, Boy William, Narji, atau Olga Syahputra.

Laki-laki sederhana itu tidak terkenal barangkali karena kesederhanaannya. Wajahnya tak rupawan, uangnya barangkali juga tidak segudang, tidak pandai melawak, atau berakting banci, juga mungkin tak pandai menyanyi, juga nge-dance. Saat talkshow, juga dari foto-foto yang diungguh di jejaring sosial, saya lihat dandanannya biasa-biasa saja, tidak pake asesoris atau busana-busana yang biasa dipakai jajaran artis-artis ternama.

Barangkali, kalau di sebuah mal, laki-laki ini disejejarkan dengan Agnez Monica, saya yakin seyakin-yakinnya, orang-orang lebih memilih mengerumuni si artis daripada lelaki yang lewat tangannya sudah membangun puluhan jembatan yang menghubungkan kampung-kampung terpencil di Indonesia.

Dibandingkan Jokowi lelaki ini pasti kalah pamor, mengingat presiden kita yang terhormat itu sudah diblow up namanya oleh media, hingga harumnya melebihi kenyataan dan fakta yang seharusnya. Padahal kalau ditilik dari kinerjanya, saya yakin, kinerja laki-laki ini jauh lebih mulia dari kinerja Jokowi.

Saya tidak akan membahas profil laki-laki ini lebih jauh, anda bisa menghubunginya lewat jejaring sosial Facebook dengan mengetikkan dua buah kata di kolom search, Relawan Kampung.

Jika anda amati, jumlah orang yang me-like page tersebut belum mencapai 5.000. masih kalah jauh jika dibandingkan dengan page-page milik selebriti yang kerjaannya menghambur-hamburkan duit dan memberikan tontonan yang meresahkan dan membuat kotor hati dan pikiran.

Jangan heran, karena memang demikianlah keadaan jaman dan masyrakat di era globalisasi dan kemodernan yang syarat kapitalisasi dan pesta-pesta di televisi. Lebih banyak orang yang tidak peduli daripada yang peduli, lebih banyak orang yang sibuk menumpuk harta dibandingkan dengan membagikannya.

Tapi jangan berkecil hati. Biar jumlah orang-orang yang peduli tidak sepadan dengan mereka yang asyik dengan hidupnya sendiri, tapi dari sedikit itulah terbangun solidaritas hingga mampu menciptakan jembatan, tidak hanya jembatan dalam arti fisik tapi jembatan sosial yang bersifat psikis dan metaforis.

Relawan Kampung yang dimotori laki-laki sederhana itu, tahu betul pentingnya jembatan. Jembatan tidak hanya meminimalisir jumlah korban hanyut kala musim hujan, tidak hanya membantu anak-anak sekolah pergi menuntut ilmu, tidak hanya membantu petani menyalurkan hasil taninya, tapi lebih dari itu, jembatan menyatukan nurani, tekad, kebersamaan, dan kegotongroyongan.

Anda tahu seberapa jauhnya banten dari Jakarta? Tidak terlampau jauh, bukan? Tapi apa anda tahu seberapa jauh ketimpangan di antara dua daerah tersebut. Bagai langit dengan bumi. Jakarta yang penuh dengan cahaya, gedung-gedung bertingkat, jembatan-jembatan besar, memberaki banten yang berlumpur, gelap, miskin, dan kedinginan.

Keduanya berada dalam satu pulau yang sama, tapi terpisah oleh jurang dan ketimpangan yang ditimbulkan modernisasi dan ketidakadilan. Tidak ada jembatan yang menghubungkan dua daerah ini, atau barangkali orang-orang jakarta memang tidak berniat membangun jembatan itu? siapa tahu. Ketiadaan jembatan yang menghubungkan antara dua daerah itu membuat masyarakat banten di pedalaman hidup dalam kesukaran-kesukaran dan bingung pada siapa hendak meneriakkan kesukaran itu.

Jembatan yang saya bicarakan di atas tentu bukan jembatan dalam arti harfiah, tapi dalam arti filosofis dan metafora. Jembatan yang saya maksud dalam konteks di atas adalah kepedulian, keadilan, kebertanggungjawaban pejabat-pejabat di Jakarta akan nasib masyarakat Banten.

Masyarakat modern seringkali mengesampingkan jembatan kepedulian, keadilan, dan kebertanggungjawaban yang saya maksud itu. Tanpa sadar, setiap waktu mereka menghancurkan jembatan-jembatan itu. Masyarakat modern tidak sadar bahwa apa pun yang mereka lakukan hari ini berpotensi menghancurkan jembatan yang menghubungkan dunia mereka dengan dunia masyarakat di sekitarnya.

Contohnya begini, seseorang kaya yang sedang makan malam di restoran mewah tidak sadar bahwa kegiatan yang mereka lakukan sebenarnya meruntuhkan jembatan sosial yang menghubungkan dunia mereka dengan orang-orang miskin di sekitarnya, karena pada saat yang bersamaan, masih banyak orang-orang kelaparan. Uang yang mereka keluarkan untuk makan malam tersebut sebenarnya bisa digunakan untuk memberi makan sekian kepala orang-orang miskin tersebut. Tapi mereka lebih memilih menggunakannya untuk hal-hal konsumtif. Dengan melakukan hal itu, secara tidak langsung orang kaya tersebut telah meruntuhkan jembatan kepedulian dan keadilan dalam hatinya.

Jembatan-jembatan sosial harus dibangun dengan berbagai macam cara, menyantuni anak yatim, menghindarkan diri dari sikap hidup hedonis, atau membangun jembatan sungguhan seperti yang dilakukan oleh laki-laki sederhana relawan kampung itu.

Satu hal yang menggelitik dan membuat saya begitu bangga hingga langsung mempersembahkan doa untuk laki-laki sederhana relawan kampung itu adalah saat menyadari bahwa seluruh kegiatan yang ia laksanakan tidak dibantu dan diapresiasi oleh pejabat pemerintah. Luar biasa. Padahal pemerintah adalah penguasa uang yang rakyat donasikan untuk kepentingan rakyat itu sendiri.

Di mana presiden dan jajarannya, di mana DPR, DPRD, Gubernur, Bupati, mengapa harus rakyat kecil yang menolong dirinya sendiri?

Peran aktif laki-laki sederhana relawan kampung itu untuk membangun jembatan di pedalaman merupakan bukti tidak berjalannya akal dan nurani para birokrat. Rakyat sudah bosan menunggu, barangkali kecewa dan marah, sehingga terpaksa membangun infrastruktur dengan kekuatannya sendiri.

Maka di dalam halaman facebook relawan kampung saya menemukan sebuah postingan yang menohok hati, sebuah surat terbuka yang mempertanyakan keberadaan para pemimpin bangsa. Anda bisa baca lebih lengkapnya di sini.

https://m.facebook.com/279483898751507/photos/a.451569361542959.105530.279483898751507/984005194966037/?type=1&refid=17

Jangan terlalu banyak berharap dan mencintai pemimpinmu, karena pasti kamu akan kecewa. Tidak ada gunanya mengharapkan pertolongan mereka. Pemimpin di atas sana yang sebenarnya adalah buruh-buruh rakyat, sedang amnesia dan tertidur lelap ditimang kenikmatan gaji, tunjangan, dan fasilitas yang diambil dari uang rakyat. Mereka meruntuhkan jembatan kepedulian dan keadilan, mereka menggali jurang yang lebih dalam.

Laki-laki sederhana yang saya tonton di TVRI itulah pemimpin yang sejati, yang mau bekerja dalam keheningannya, yang mau bersusah payah tanpa digaji atau dipelototi media. Dia lah Sang Pembangun jembatan yang mempersempit jurang ketimpangan.

Jika diberi Tuhan kesempatan untuk bertatap muka dengan laki-laki itu, saya ingin sedikit berkelakar dengan mengatakan sebuah banyolan kepadanya, “Pak Arif, jika anda orang Islam, maka Anda tidak butuh sholat, puasa, zakat, atau haji lagi untuk masuk surga, karena apa yang Anda lakukan sudah merepresentasikan nilai-nilai dalam ibadah suci itu.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun