Makam Sunan Kudus | Kudus, Jawa Tengah [caption id="attachment_18922" align="alignleft" width="300" caption="masjid kudus di ujung petang"][/caption] Aku tak langsung menyebrang memasuki kompleks Masjid Menara Kudus. Aku hanya berdiri menikmati keindahan menara setinggi 18 meter, yang dibangun dengan tumpukan batu bata berwarna merah. Desain arsitekturnya kentara sekali bercorak Hindu-Majapahit. Inilah menara masjid yang paling unik di seluruh dunia. Tak ada satu masjidpun di dunia yang memiliki menara mirip dengan Menara Masjid ini. Sementara itu langit kota Kudus makin temaram, sebentar lagi waktu Maghrib tiba. Aku melangkah memasuki gerbang masjid di sebelah menara, yang sejak awal membuat mataku terpana. Satu dua orang masyarakat sekitar datang ke masjid. Makin senja, makin banyak jamaah tiba. Orang tua yang sudah berwudhu dari rumah, langsung duduk bersila di shaff terdepan. Para remaja menunggu waktu adzan. Bercengkrama tanpa bising suara. Sekelompok anak-anak duduk membentuk lingkaran, melantunkan Shalawat Nabi menjelang adzan. Aku menuju tempat wudhu.Terkesan melihat keran klasik dan indah yang menakjubkan mataku. Sebuah tempat wudhu kuno dari susunan bata merah, dengan lubang pancuran berbentuk kepala arca berjumlah delapan buah. Jumlah ini konon dikaitkan dengan falsafah Budha, yaitu Asta Sanghika Marga (delapan jalan utama) yang terdiri dari pengetahuan, keputusan, perbuatan, cara hidup, daya, usaha, meditasi, dan komplementasi yang benar. Lubang pancuran kuno yang berbentuk kepala arca seperti ini terdapat pada tempat wudhu. Bentuk arca seringkali dikaitkan dengan kepala sapi karena hewan tersebut dulunya diagungkan orang Hindu di Kudus. Bahkan hingga sekarang meski mereka telah menjadi Muslim, masih memiliki tradisi menolak penyembelihan sapi. Kuputar keran itu. Air dingin mengucur deras. Kubasuh tanganku, hingga sempurna wudhuku. Sejuk dan segar kembali kurasakan. Entah energi apa yang terserap ke dalam tubuhku. Hingga detik ini, sejak kemarin sore memulai perjalanan, menghabisi malam di jalan tanpa terpejam, menelusuri pagi hingga terik matahari, dari Cirebon, Brebes, Tegal, Pemalang, Pekalongan, Batang, Alas Roban, Kendal, Semarang, singgah di Demak dan Kadilangu. Senja ini kami sudah ada di Masjid Menara Kudus. Belum kurasakan lelah yang membuatku menyerah. Apalagi dengan siraman air wudhu ini. Segera kupanggil teman-temanku, "Wudhu! Airnya segar! Kerannya bagus!". Merekapun segera menghampiriku. Merendam kaki yang kering di kolam kecil sebelum sampai ke area wudhu. Mereka menikmati kolam kecil itu, sedangkan aku menaiki anak tangga masjid, menuju pintu. Terdengar suara adzan yang iramanya amat berbeda dengan adzan yang biasa kudengarkan di kotaku, berbeda dengan adzan yang biasa ditayangkan di televisi maupun radio. Amat berbeda! Yang kurasakan, sang mu'adzin mengumandangkan adzan tidak dengan suara yang dilantangkan. Adzan yang dikumandangkan dari atas Menara terdengar datar namun mendayu-dayu. Menarik hati yang mendengarkan panggilannya. Irama adzan terdengar dekat, membuat jiwaku hanyut terpikat. Selesai shalat Maghrib berjamaah, aku mencari tempat untuk melanjutkan jama' shalat Isya'. Aku berdiri, memperhatikan sekeliling ruangan di belakangku. Hatiku terpaut pada sebuah bangunan tua. Kuhampiri, keperhatikan, kebahagiaan membuncah. Sebuah pintu gerbang yang asli dari Masjid Tua ini baru kusadari keberadaannya. Akupun melanjutkan shalat Isya' tepat di depan gerbang tua yang masih dipertahankan berdiri tegak di dalam masjid yang sudah digubah menjadi lebih luas dan lebih indah. Selesai shalat, aku masih enggan beranjak. Kuperhatikan gerbang masjid lama yang dibentuk dari tumpukan batu yang sama persis seperti Menara Masjid di depan sana. Inilah gerbang Masjid Al-Aqsa itu. Nama Al-Aqsa diberikan oleh Syech Ja'far Shadiq yang bergelar Sunan Kudus karena terinspirasi dari sebuah batu yang dihadiahkan oleh seorang Syech di Makkah, saat sang Sunan menunaikan Haji dan mengajar untuk beberapa waktu di Makkah Al-Mukaramah. Batu tersebut berasal dari Baitul Maqdis di Yerusalem. Untuk mengenangnya, Masjid itupun diberinama Masjid Al-Aqsa yang akhirnya menjadi Kudus. Mulai saat itulah nama Kudus mengubah nama dusun yang sebelumnya bernama Tajug. Masjid ini didirikan pada 956 Hijriah (1549 Masehi). Dalam inskripsi terdapat kalimat berbahasa Arab yang artinya, "... Telah mendirikan masjid Aqsa ini di negeri Quds..." Sangat jelas bahwa Ja'far Shodiq - yang juga merupakan ahlul bait Nabi keturunan ke-14 dari Husain bin Ali bin Abi Thalib menantu Rasulullah Muhammad SAW. - menamakan masjid itu dengan sebutan al-Aqsa, setara dengan Masjidil Aqsa di Yerusalem. Walau tak terucap, pujian terungkap dari hatiku. Untuk Sang Sunan perencana arsitektur masjid ini. Ketika sedang asyik menikmati keindahan pintu gerbang tua, teman-temanku memanggil agar bersama-sama berziarah ke makam Sunan Kudus yang berada di depan masjid. Aku mengikuti mereka ke sebelah Selatan masjid. Memasuki gapura kompleks makam yang juga bercorak arsitektur Hindu-Jawa. Kucatat nama rombongan kami di buku tamu. Kurasakan sikap santun dan ramah para petugas penunggu makam. Amat bertolak belakang dengan petugas yang pernah kutemui di Cirebon pagi tadi. Mereka bahkan tak meminta uang sepeserpun, malah langsung mengarahkan jalan menuju makam sang Sunan. Jalur ke makam Sunan masih melewati gapura yang indah menawan. Lampu penerang di beberapa titik taman dan selasar memudahkan perjalanan kami. Binar-binar cahaya lampu sepanjang jalan, menghilangkan kesan angker yang biasanya terbentuk karena kegelapan. Kulihat ratusan peziarah duduk bersimpuh di sekeliling makam sang Sunan. Mereka membaca doa tanpa menyuarakan kebisingan. Beberapa remaja kuperhatikan sedang menghafal al-qur'an. Menurut penjelasan Kyai Nasrudin, mereka adalah para santri di Masjid Menara Kudus ini. Kami mendapatkan tempat di Barat Daya dari makam sang Sunan. Kyai Abdul Rozak mendampingi Kyai Nasrudin memimpin ritual ziarah. Yang lain duduk di lantai kosong yang masih tersisa. Mengikuti arahan doa hingga selesai. Kami beranjak demi memberikan kesempatan bagi tamu lainnya yang belum mendapatkan tempat untuk berziarah. Sebelum meninggalkan, aku berjalan mengelilingi makam. Memperhatikan kekhusyu'an para peziarah di setiap sisi makam. Doa-doa terus mengalir dari jiwa mereka, bergantian tak putus-putusnya bagi sang Sunan yang tenang di alam sana. Sunan Kudus adalah pelanjut perjuangan dakwah Islam ayahnya, Raden Usman Haji yang bergelar Pangeran Ngudung. Bersama dengan Sunan Ampel, sang ayah adalah generasi pertama walisongo. Ialah yang melakukan dakwah pertama kali di Kerajaan Matahun tepatnya di daerah Ngudung, ketika masih dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Saat itu nama walisongo belum terucap. Gerakan ulama gelombang pertama dan kedua masih menggunakan nama Bhayangkare Ishlah. Nama Walisongo baru dikenal pada gelombang ketiga, saat akan dibangunnya Kesultanan dan Masjid Demak. Syech Usman Haji yang setelah berdirinya Kesultanan Demak bergelar Sunan Ngudung adalah panglima perang. Bahkan sejak awal gerakan dakwah yang dipimpin oleh Sunan Ampel, beliau menerima amanat melatih para santri dengan keterampilan pencak silat. Hidupnya berakhir di medan perang, ketika Kesultanan Demak yang dipimpin oleh generasi ketiga, Sultan Trenggono memerintahkannya memimpin penyerangan terhadap Majapahit. Saat peperangan itulah - sekitar tahun 1524 Masehi - Sunan Ngudung syahid oleh tusukan Adipati Terung. Kesultanan Demak memberikan gelar Anumerta "Penghulu Rahmatullah" atas jasanya. Kedudukan Sunan Ngudung sebagai panglima perang dan imam masjid Demak digantikan oleh anaknya sendiri, Ja'far Shadiq yang kelak bergelar Sunan Kudus. Pada peperangan selanjutnya - tahun 1527 Masehi - Sultan Trengono memerintahkan Ja'far Shadiq memimpin penyerbuan terhadap ibukota Majapahit. Pada tahun inilah, ibukota Majapahit berhasil direbut oleh balatentara Demak, yang dipimpin Ja'far Shadiq. Darah ulama-panglima sang ayah terwariskan pada diri sang anaknya. Setelah jabatannya sebagai Imam Masjid Demak tergantikan oleh Sunan Kalijaga atas penunjukkan Sunan Gunung Jati dan Restu Sultan Trenggono, Ja'far Shadiq meninggalkan Demak. Ia berkonsentrasi menggarap pesantren di dusun Tajug yang kelak diubah namanya menjadi Kudus. Sejak itulah ia meninggalkan keahliannya sebagai panglima perang, menanggalkan kehidupan priyayi, menjadi pesuluk dan bertani, sekaligus membina masyarakat Hindu di wilayahnya dengan ajaran Islam, tanpa kekerasan, tanpa paksaan, dan tanpa ejekan.
laporan selanjutnya : menafsirkan sebuah ketinggian
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H