Jalan Tol Jagorawi | Bogor - Jakarta Meninggalkan makam Mamak Elon, menyisakan perenungan di benakku. Kini yang menguasai pikiranku adalah sebuah kepastian dimulainya sebuah perjalanan yang telah lama kunantikan. Tak kuingkari, ada rasa bahagia bahwa perjalanan menelusuri jejak walisongo telah dimulai. Namun kekhawatiran tetap menyelinap. Apakah kami akan menyelesaikan perjalanan ini dengan tetap menyatu sebagai sebuah tim? Teringat kisah penuturan temanku tentang pengalaman mereka yang telah dua kali gagal melanjutkan perjalanan seperti ini. Saat itu ada satu-dua orang yang memiliki tujuan lain di tengah jalan. Mereka memecah tim jadi bercerai tujuan. Jadilah tim itu pecah, dan rencana perjalanan itu dibatalkan. Aku tak ingin tragedi itu terulang pada perjalanan kali ini. Aku meyakinkan diri bahwa perjalanan ini akan lancar dan selamat. Hatiku mengutus doa kepada Tuhan, "Ya Allah, aku mewakili teman-teman, menyerahkan keselamatan kami dan tujuan perjalanan ini sepenuhnya pada-Mu. Aku berserahdiri pada kuasa dan kasih sayang-Mu. Kutitipkan mereka yang kutinggalkan, dalam kuasa dan keselamatan-Mu!" Pada doaku itu, aku meyakinkan diri akan keutuhan tim. Aku tak mau membayangkan kegagalan. Kufokuskan pikiran dan hatiku pada keutuhan tim ini untuk menyelesaikan track by track. Hingga kusadari ternyata Phanter tahun 1995 yang kutumpangi sudah menyusuri Tol Jagorawi yang sepi. Ini adalah jalan tol yang sempat kuimpikan untuk melintasinya ketika masih kecil. Dulu, sekitar tahun 1983, teman-teman SD-ku selalu terlihat bangga saat menceritakan melewati Jalan Tol Jagorawi menuju Kebun Raya Bogor. Saat itu, bagi kami anak Jakarta, melintasi jalan Tol pertama di Indonesia - yang dibangun sejak 1973 dan diresmikan pada Maret 1978 - mengesankan kemewahan. Hanya teman-teman yang kuanggap orang kaya, sanggup melintasi "Jalan Berbayar" yang konon pinggir jalannya ditandai dengan garis marka berwarna kuning. Seumur itu aku belum pernah melihat garis di jalan selain berwarna putih. Naif sekali impianku kala itu : Ingin membuktikan kalau di Jalan Tol ada garis berwarna kuning yang tak putus sepanjang jalan! Akhirnya impian itu terwujud saat kelas 6 SD. Kelasku mengadakan study tour ke Kebun Raya Bogor dan Museum Zoologi. Itulah saatnya aku melintasi Jalan Tol Jagorawi. Teman-temanku yang sudah pernah melintasinya, menceritakan dengan bangga tentang rupa jalan impianku itu. Jalan yang ketika dibangun tidak terpikir akan menjadi jalan tol, kecuali setelah Ir. Sutami (Menteri Pekerjaan Umum tahun 1978) mengusulkan kepada Presiden Suharto, agar ruas jalan baru itu dijadikan Jalan Tol, agar biaya perawatan jalan itu tak membebani anggaran pemerintah. Kuperhatikan temanku - Pengelana Semesta - amat menikmati driving. Memang hobinya. Ia melajukan mobil tua ini seperti terbang menembus pekat dini hari. Pada kecepatan 120 KM/Jam ia melaju, kurasakan kini lebih cepat dari hari-hari biasa aku traveling dengannya, dan tak sampai 30 menit ruas Tol Jagorawi sudah kami lewati. Kutinggalkan jalan tol yang ketika kulintasi selalu mengingatkanku dengan keluguanku saat bocah. Ya, saat melintasi jalan tol dengan Charter Bus dulu, aku sengaja memilih tempat duduk dipinggir kanan dekat jendela. Tujuanku hanya satu: sepanjang melintasi jalan impian itu, mataku terpana pada garis kuning yang tak putus-putus hingga loket tol Bogor. “Ternyata temanku benar, soal garis kuning itu!” Benak bocah naif.
laporan selanjutnya : makam suci berhala religi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H