Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ekspedisi Walisongo: Kekuasaan dan Kesalehan

26 Oktober 2009   01:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:32 1542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kompleks Makam Kesultanan Demak | Demak, Jawa Tengah Keluar dari Masjid Agung Demak, Kami memasuki kompleks makam. Para Sultan Demak dan sanak keluarganya dimakamkan di kompleks yang berdiri di sebelah utara masjid bersejarah ini. Ketika memasuki kompleks makam, perhatianku terpaut pada gundukan kayu jati besar yang merupakan peninggalan para wali. Kayu-kayu tersebut merupakan tiang utama yang digunakan sebagai soko guru utama Masjid Agung Demak. Sebuah benda arkeologis bertuliskan keterangan dan nama seorang wali, Sunan Kalijaga menarik perhatianku. Kata babad yang pernah kubaca, Sunan Kalijaga membuat tiang masjid dari gabungan beberapa kayu (tatal) menjadi sebuah tonggak besar. Tapi melihat kayu yang menjadi bukti sejarah di balik ruang berjeruji itu, sepertinya amat meragukan jika terbuat dari beberapa potong kayu ataupun serpihan kayu. Lagi-lagi kutemukan bukti, betapa kisah yang ditulis dalam Babad, perlu kita kritisi. Akupun melangkah lebih ke utara, ke sebuah ruangan berlabel Museum Masjid Agung Demak. Di dalam museum itu tersimpan benda-benda bersejarah yang melengkapi interior Masjid Agung Demak. Ada sebuah miniatur masjid yang memberikan bayangan nyata, bagaimana bentuk asli Masjid yang dibangun oleh para wali, yang digagas oleh Sunan Ampel dan Raden Fatah. Meskipun hanya sebuah maket, tapi terbayang suasana masa lalu ketika berdiri di dekatnya. Aku merasakan suatu kesimpulan bahwa pembangunan Masjid Agung Demak merupakan inisiatif generasi tua, yang diwakili oleh Sunan Ampel dan generasi muda, yang diwakili oleh sosok Raden Fatah, yang kelak menjadi Sultan Demak pertama, yang tak lepas dari rencana besar Bhayangkare Ishlah yang akhirnya lebih dikenal dengan nama Walisongo. Bayangan ini memang tak memiliki bukti sejarah. Karena memang hanya lesatan yang aku rasakan saat berziarah ke makam Raden Fatah. [caption id="attachment_18372" align="alignleft" width="300" caption="makam raden fatah dan keluarganya"][/caption] Aku berdoa di depan pusara Raden Fatah yang berjejer dengan makam anggota keluarga Kesultanan Demak. Kubacakan Al-Fatihah sebagai hadiah dari seorang peziarah penuh noda kepada sang raja yang insya Allah memiliki maqam suci. Seorang pemimpin Kesultanan Islam di tanah Jawa, yang sanggup menggeser dominasi dan hegemoni Kerajaan Majapahit pada masanya. Selesai berdoa, aku masih enggan beranjak. Kuperhatikan satu persatu pusara dalam jarak pandangku. Kurasakan keheningan pada siang hari yang lengang. Aku berdiri, berjalan ke berbagai sisi. Memperhatikan pusara lainnya yang diliputi sepi. Beberapa pusara yang tak menarik orang lain untuk diziarahi. Akupun menepi di sebuah sudut paling Barat dari kompleks pemakaman ini. Aku teringat dengan sebuah nama, Prabu Dharmakusuma. Konon ialah Bhre Kertabhumi, raja terakhir Majapahit yang menyelamatkan diri dari kudeta Dyah Ranawijaya alias Prabu Nata Girindrawardhana. Di akhir sisa hidupnya, Kertabhumi menetap di Demak, dalam jaminan keamanan Raden Fatah yang merupakan anak Bhre Kertabhumi dari selir berdarah Campa, Ratu Darawati, yang juga bibi dari Raden Rahmat atau Sunan Ampel. Berdasarkan Prasasti Jiyu dan Petak yang dibuat oleh Girindrawardhana, jatuhnya Majapahit yang dipimpin oleh Kertabhumi adalah karena serangan dari Girindrawardhana. Menurut ahli arkeologi, prasasti tersebut, mengisahkan serangan pada tahun 1478 terhadap Majapahit sehingga Girindrawardhana menguasai wilayah pusat Majapahit, Jenggala, dan Kediri. Bukti arkeologis ini membantah bahwa runtuhnya Majapahit era Kertabhumi bukanlah karena serangan Kesultanan Demak. Justru sebaliknya, Kertabhumi mendapatkan perlindungan dari Demak ketika terjadinya kudeta oleh Girindrawardhana. Aku kembali berdiri di depan pusara Raden Fatah. Kubayangkan sosok murid Sunan Ampel ini. Ia adalah seorang Sultan yang arif bijaksana. Dalam kedudukannya sebagai Raja Demak, ia amat toleran dengan rakyat Jawa yang masih memeluk agama nenek moyangnya. Bahkan ia tetap membiarkan kuil Sam Po Kong di Semarang, yang didirikan oleh Laksamana Ceng Ho sebagai masjid, tetap dibiarkan menjadi kuil agar pada pemeluk Hindu-Budha memiliki sarana ibadah. Demak dalam kepemimpinan Raden Fatah adalah sebuah kerajaan Islam yang toleran terhadap keberagaman masyarakat. Ini merupakan spirit yang selalu diajarkan oleh sang guru sufinya, Sunan Ampel. Namun sepeninggal Raden Fatah, setelah beralih kepada anak-anaknya, yaitu Dipati Unus alias Pangeran Sabrang Lor dan Pangeran Trenggono, barulah Demak menjadi lebih agresif terhadap kekuatan lain yang dianggap mengancam eksistensi Demak. Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa pengganti Raden Patah adalah Pangeran Sabrang Lor. Dia yang menyerbu Portugis di Malaka pada 1511. Pada 1524-1546, kekuasaan Demak dipegang oleh Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunung Jati -Sultan Cirebon yang juga salah seorang "walisongo". Baru saja memimpin Kesultanan Demak, sang Sultan langsung melakukan penyerangan kepada wilayah-wilayah yang masih berada dalam dominasi Majapahit. Ini merupakan langkah politik yang berbeda seperti yang pernah dipesankan Sunan Ampel kepada Raden Fatah, agar tidak mengusik wilayah lain yang masih tetap yakin dengan kepercayaan lama. Langkah agresif ini pada akhirnya melahirkan tentangan dari para santri yang dipimpin oleh Syech Siti Jenar. Akibat pertentangan inilah, Syech Siti Jenar harus mengakhiri perjalanan suluknya di ujung keris yang mengeksekusi raganya. Sultan Trenggono memang banyak membuat langkah besar. Pada masanya, Sunda Kelapa (kini Jakarta) digempur. Berbagai wilayah lain ditaklukkannya. Namun ia tewas dalam pertempuran menaklukkan Panarukan - Jawa Timur. Sultan Trenggono digantikan oleh adiknya, Sunan Prawoto, yang lemah. Banyak adipati memberontak. Prawoto dibunuh Adipati Jipang, Ario Penangsang. Demak berakhir. Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya -menantu Trenggono-memindahkan kerajaan ke Pajang. Atas bantuan Senopati, anak Ki Ageng Pemanahan, Ario Penangsang dapat dikalahkan. Senopati dijadikan menantu Sultan. Begitu Hadiwijaya wafat, dia mengambil alih kekuasaan dan memindahkannya ke Mataram. Sejak itulah berdiri Kesultanan Mataram yang amat berpengaruh dalam penulisan kembali sejarah para walisongo dalam bentuk Babad maupun Serat. Mataram berusaha mengalihkan pesona kharismatik Giri Kedhaton, meski tak pernah berhasil. Sejak zaman Mataram inilah, Islam puritan yang toleran, berselaput jubah kekuasaan. Secuil ilustrasi sederhana Jejak Walisongo, mendeskripsikan kondisi tersebut :

Murid bertanya setelah sang guru menyelesaikan permenungan malam. "kenapa sesama pemeluk anutan tetap berebut kuasa, padahal mereka sama-sama menjadikan anutannya sebagai dasar budi pekerti dan ritual?" Sang guru menoleh ke arah muridnya. "Konflik kekuasaan itu merupakan tradisi yang tak usang dan tak usai oleh ruang dan waktu." "Jika mereka kembali pada dasar moral, mestinya bisa berdamai!" "Anutan bukanlah jiwa mereka, yang dikuasai oleh amarah dan haus kuasa." "Tapi mereka selalu menjadikan anutan sebagai simbol kekuasaannya?!" "Begitulah, anutan memang sering dijadikan jubah kekuasaan. Tapi tak menjadi jiwa..." Murid merenungkan dialognya dengan Sang Guru. Ia pamit beranjak menikmati purnama sempurna.

Ketika kekuasaan menjadi nyawa keberagamaan, ketika darah biru keningratan (abangan) lebih dominan dari pada darah biru kesalehan (santri), berakhirlah keagungan Demak dalam sejarah kerajaan Islam di Tanah Jawa.

laporan selanjutnya : wali dengan citarasa lokal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun