Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ekspedisi Walisongo : Energi Baru di Masjid Wali

25 Oktober 2009   09:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:32 2335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masjid Agung Demak | Demak, Jawa Tengah [caption id="attachment_18367" align="aligncenter" width="300" caption="setelah melewati perjalanan panjang dari bogor, cirebon, alas roban, semarang, alhamdulillah kami sampai juga di mulut kota demak"][/caption] Impianku shalat di Masjid ini tertanam sejak 02 April 1994. Memang sangat lama, 15 tahun lebih beberapa hari. Pemicunya adalah sebuah buku yang ditulis oleh Agus Sunyoto, berjudul "Sunan Ampel". Buku tersebut memberikan pencerahan kepadaku, yang masih meragukan kebenaran bacaanku sebelumnya, Babad Tanah Jawi dan Babad Cirebon. Kedua buku terakhir begitu kental dengan keajaiban dan mistik. Menurut Babad yang kubaca, Masjid Demak dibangun oleh Walisongo hanya dalam waktu satu malam. Berdasarkan tulisan candrasengkala "Lawang Trus Gunaning Janmi", masjid tersebut didirikan pada tahun 1477. Versi lain, berdasarkan gambar seekor Bulus di mihrab masjid, melambangkan tahun 1479. Entah mana yang benar, aku belum mendapatkan kepastian. Namun yang paling menyisakan ragu adalah masa pembangunan yang hanya semalam. Bagiku, amat tidak masuk akal. Setakwa apapun, walisongo bagiku adalah para manusia biasa, bukan pesulap apalagi penyihir. Kisah walisongo, bukanlah dongeng Sangkuriang yang sanggup membangun istana hanya semalam. Aku memandangi masjid impianku dari alun-alun. Sengaja kupuaskan memandangnya sebelum memasuki tubuh dan jiwa masjid itu. Perlahan kuberjalan, menuju serambi masjid. Kuperhatikan teman-temanku yang melepas lelah, berbaring terlentang pada lantai yang dingin. Aku tergoda untuk mengikuti mereka. Kutelentangkan badanku, kurentangkan tanganku, kurasakan dinginnya lantai menyerap panas dari kulit tubuhku. Semilir angin menambah sejuk. Menguapkan rasa gerah di siang hari yang terik ini. Sambil berbaring, kuperhatikan atap dan delapan tiang penyangga serambi masjid ini. Delapan tiang yang disebut Soko Majapahit itu dibangun atas perintah Dipati Unus atau Pangeran Sabrang-Lor. Beliau adalah anak Raden Fatah dan menjadi Sultan Demak Kedua pada 1518-1521. Mengingat tokoh yang membangunnya, serambi yang luas ini bisa jadi dibangun pada fase pengembangan, bukan fase awal pembangunan masjid. Perjalanan nonstop tanpa tidur sejak sehari yang lalu amat melelahkan. Tapi sejak berwudhu di Masjid Sunan Gunung Jati, Shubuh tadi, membuat mataku tak lagi mengantuk. Tapi tak kupungkiri, pegalnya pinggang sempat menyerangku. Dan pegal dan nyeri yang menyiksa itupun kini lenyap setelah berbaring santai di serambi Masjid Agung Demak ini. Cukup bagiku rebahan sebentar. Akupun bangkit menuju ruang wudhu untuk membersihkan debu-debu perjalanan demi menghadap Tuhan di dalam masjid impian. Kini aku berdiri tepat di depan pintu masuk Masjid Agung Demak. Aku kembali mengucap syukur Alhamdulillah. Tanpa Kuasa Tuhan, tak mungkin impianku terwujud pada hari ini, shalat di Masjid yang dibangun oleh para tokoh Walisongo ini. Bergetar hatiku saat mengingat betapa ketetapan Allah tak berbatas waktu. 15 Tahun memendam keinginan ini, terbayar tuntas berkat ajakan teman-teman, bergabung dalam Tim Ekspedisi Walisongo. Langkahku tertuju pada empat buah soko guru yang menurut beberapa Babad dibangun oleh Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, dan Sunan Kalijaga. Entah bagaimana proses pembangunan yang realistis, karena aku masih menyangsikan jika keempat tokoh itu membangun soko guru tersebut pada satu waktu. Jika salah satunya membangun pada masa renovasi, bagiku cukup rasional. Sebab, yang kutahu, Sunan Kalijaga baru diajak bergabung dalam jajaran Walisongo oleh Sunan Bonang, setelah ayahnya, Sunan Ampel wafat, 2 tahun setelah pembangunan Masjid yang digagas oleh Raden Fatah . Masjid ini memang murni gagasan antara generasi tua dan muda, yakni Sunan Ampel dan muridnya Raden Fatah, yang masih keturunan Sri Kertawijaya, Raja Majapahit. Gagasan tersebut menjadi rencana Bhayangkare Ishlah, nama resmi yang disebut oleh Sunan Ampel sebelum populernya sebutan Walisongo. Latar belakang pembangunan Masjid Demak yang utama adalah sebagai pusat koordinasi dakwah Bhayangkare Ishlah. Begitupun dengan posisi geografis Ampel Denta yang dekat dengan ibukota Majapahit. Karena itu, Sikap Hijrah para wali merupakan strategi yang tepat. Selain sebagai pusat pendidikan Islam, latar belakang politis juga menjadi pertimbangan. Penyerbuan Majapahit terhadap Giri Kedhaton, yang dipimpin oleh Sunan Giri yang juga keturunan Bhre Wirabumi, meskipun mengalami kegagalan, sudah menjadi sinyal untuk segera memindahkan pusat dakwah. Selain itu, pada 1477 kondisi politik Majapahit sedang dilanda ancaman kudeta. Dyah Ranawijaya Girindrawardhana semakin hari semakin menebarkan ancaman kepada Raja Majapahit yang berkuasa, Kertabhumi. Kewaskitaan Sunan Ampel benar-benar terbukti. Setahun setelah Masjid Demak dibangun, Majapahit benar-benar jatuh ke tangan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana, walaupun Sang Raja Kertabhumi menyelamatkan diri ke Demak, dimana anaknya, Raden Fatah langsung ditahbiskan oleh Sunan Ampel sebagai Raja Kerajaan Demak, setelah 40 hari Sunan Giri merancang tata pemerintahan Demak. Aku mulai shalat dzuhur menghadap tiang (soko guru) yang tertulis nama Sunan Bonang. Entah mengapa hatiku tertarik untuk shalat di depan tiang Sunan Bonang. Padahal di sebelahnya berdiri kukuh tiang lainnya yang bertuliskan nama Sunan Ampel, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga, yang tentunya ketiga nama tersebut lebih populer ketimbang Sunan Bonang. Aku belum memahami kekuatan hatiku sendiri. Kurasakan suasana hening, tenang, sunyi, menyelimuti shalatku. Selesai shalat Dzuhur, kujama' dengan shalat Ashar. Aku berdiri dan berjalan ke depan mimbar masjid. Kurasakan energi positif menyelusup ke nadiku. Para wali mengorganisasikan perjuangan mereka di dalam masjid ini. Kubayangkan sosok Sunan Ampel berdiri memberikan tausiyah dari mimbar itu. Duduk bersimpuh di depan mimbar. Kulantunkan Al-fatihah, zikrullah, dan shalawat atas nabi dan para wali. Kembali kuingat keagungan Tuhan, yang mengizinkanku shalat di Masjid yang lama kuimpikan. Energi zikir dan aura para wali terserap dalam jiwa. Menjadi energi baru untuk melanjutkan ziarah ini ke makam para wali.

laporan selanjutnya : kekuasaan dan kesalehan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun