Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Bisnis Obat Expired oleh Oknum Dokter

6 Februari 2010   03:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:04 1135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

[caption id="attachment_68215" align="alignleft" width="300" caption="pict : http://andayana.files.wordpress.com/2009/07/obat5.jpg"][/caption] Siang itu di Pasar Obat sekitar Jatinegara. Aku ngerumpi dengan beberapa orang penjaga toko obat. Semua orang sudah tahu, selain di Pasar Pramuka, transaksi obat juga ada di kawasan Pasar Jatinegara ini. Bahkan di luar dugaan, obrolan mengarah pada satu cerita tentang transaksi obat bekas. "Lho? Obat bekas yang bagaimana?" tanyaku berbego-bego muka, biar dapat info nyata. "Bekas dipakai orang lain, tapi belum habis, biasanya ada yang datang kemari, menjual obat bekas." Kata salah seorang yang tak berkumis tapi jenggotnya lumayan panjang. "Kan orang-orang biasanye jarang ngabisin obatnye, bos! Nah, biasanye, ada tuh nyang nyari..." kata salah orang yang betokaw banget dialeknya. "Iya, sih... dulu teman saya juga ada yang minta obat-obat bekas yang ada di rumah saya. Tapi karena jarang sakit, jadi nggak ada stok." Ceritaku. "Bukan cuma dari rumahan. Ada juga yang dapat dari Rumah Sakit. Biasanya melalui perawat kamar." Kisah yang lainnya. Hm... menarik juga. "Memang obat bekas begitu, bisa dijual di sini?" tanyaku berbego-bego lagi. "Ya, bisa lah. Mereka itu kan salah satu sumber pasokan kita." "Hargenye sih ancur, bos! Soale, kite juga kagak bisa jual pake harga normal..." kata yang Betokaw lagi. "Kan tidak semuanya bagus. Bisa jadi ada yang sudah jelek bungkusnya. Atau bisa jadi ada yang sudah kadaluarsa?!" tanyaku lagi makin membego. "Ya memang begitu. Tapi justru barang begitu yang sering dicari sama dokter yang sudah biasa belanja di sini." "Dokter?" Aku kaget beneran... "Dokter yang membeli obat-obat bekas itu?" "Justru itu, bos! Lha, dokter aje berani beli di mari, masa kite takut ngejual. Dokter entuh (itu) kan orang pinter, jadi entu obat yang ude kadaluwarsa, yang bungkuse ancur, tinggal dibongkar-bongkarin dah. Kan waktu ngasih pasien biasanye kagak pake bungkusnye." Si Betokaw paling doyan cerita. "Mereka belinya pakai harga normal atau harga di bawah standar?" tanyaku "Wah, kalo soal nawar sih, mereka itu pintar. Obat paten yang setablet biasanya laku delapan ribu, bisa mereka tawar di bawah seribu perak!" "Bener, bos! Mangkenye kite-kite juga kagak bisa nahan harga. Lha, kalo itu dokter kagak kite kasih harga yang die mao, sape lagi nyang mau beli obat loakan." "Belinya sedikit atau banyak?" tanyaku mencari detail. "Buat barang loakan, paling sedikit sekarung lah..." "Mereka jual ke pasien pakai harga bekas atau tetap harga pasaran?" "Wah, kalo sampe ke situ mah, ane kagak tau dah, bos! Entu mah bukan urusan ane..." Si Betokaw menggoyang-goyangkan jari telunjuknya ke kanan dan ke kiri. "Tapi saya yakin, ada juga yang jual ke pasien pakai harga mahal. Buktinya dokter-dokter itu cepat kaya." Salah seorang yang sejak awal diam saja, mulai angkat bicara. "Tapi ada juga yang membeli obat loak, untuk subsidi silang...." Tambah salah seorang dalam rumpian ini. "Subsidi silang bagaimana, pak?" tanyaku jujur. "Buat diberikan kepada pasien yang memang nggak mampu. Lha, kalau pakai obat paten yang masih bagus, kan nggak mungkin. Harganya aja mahal..." masuk akal juga penjelasan bapak ini. "Ah, belum tentu semua punya niat lurus kayak gitu... aku yakin, kebanyakan mencari untung besar!" yang tadi curiga masih tetap curiga. Itu hanya rumpian di toko obat. Aku tak menjamin obrolan ini bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun aku juga tak yakin kalau cerita mereka itu bohong. Jadi... buat jaga-jaga, mending kita harus hati-hati menerima obat dari dokter praktik. Salah satu indikatornya adalah, "obatnya sudah tidak dikemas dalam kemasan pabrik". Tapi indikator ini sepertinya tak berlaku buat obat asal puskesmas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun