Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Biarkan Baduy Bicara: Rumah Satu Pintu

13 November 2009   18:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:21 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_21995" align="alignleft" width="300" caption="sebuah rumah di baduy luar"][/caption] Kami memasuki wilayah Cibeo. Menelusuri gang di antara rumah-rumah warga Cibeo. Ada sederetan warga sedang duduk-duduk sambil menggarang ikan di atas bara kayu bakar. Mereka berdiri menyalami kami. Suatu keramahan yang tidak direkayasa layaknya keramahan aktifis partai politik. Keramahan mereka terasa di hati, senyumnya tulus. Sikap yang alami itu menciptakan rasa aman bagiku. Aku meminta Ipul agar jangan langsung menemui Ayah Mursyid. Teman-temanku usul, "Lebih baik kita istirahat dan makan siang di rumah Ayah Aja!" Ipul setuju dan menyampaikan "aspirasi" kepada Ayah Aja yang sedang menunggu instruksi untuk masuk ke rumah Ayah Mursyid. Orang tua itu langsung beranjak dari duduknya dan meminta kami mengikutinya. Kami makin ke dalam, menelusuri gang di antara beberapa rumah yang hampir semuanya sama. Setelah belokan terakhir, kulihat Ayah Aja masuk ke rumahnya. Teman-temanku bergegas untuk rebahan di rumah yang terbuat dari bambu. Sedangkan aku masih menikmati bentuk dan bahan rumah itu. Aku kelilingi rumah itu, kuperiksa. Tak ada satupun paku yang menancap. Pondasi rumah itu berbahan kayu yang kupikir cukup kuat. Tinggi kayu di bawah alas rumah itu tidak rata, karena memang permukaan tanahnya bergelombang.  Di bawah rumah tertumpuk persediaan kayu bakar. Sama seperti rumah yang lainnya. Kayu bakar inilah sebagai bahan bakar utama untuk memasak. Kuperhatikan, rumah ini sama saja dengan 99 rumah yang ada di perkampungan Baduy Dalam. Semua rumah hanya memiliki satu pintu. Tak ada jendela, kecuali bolongan kecil pada bilik-bilik bambu. Di rumah Ayah Aja, hanya ada dua lubang jendela yang ukurannya acak, kira-kira 6x5 cm. Itupun hanya ada di bagian dapur saja. Mungkin sebagai ventilasi ketika mereka memasak. Kenapa semua rumah di Baduy Dalam hanya memiliki satu pintu? Kenapa pula rumah di Baduy Luar memiliki dua pintu? Akan aku tanyakan kepada Ayah Mursyid, nanti. Di belakang rumah Ayah Aja, ada sungai yang airnya bening. Bebatuannya cukup besar untuk meletakkan pakaian ketika mandi. Sebenarnya aku tak sabar untuk menyeburkan diri pada sungai itu. Tapi aku harus kembali ke rumah Ayah Aja. Membantu teman-teman untuk mengumpulkan bahan makanan yang kami bawa dari rumah. Aku masuki rumah kecil ini. Gelap! Tapi lama-kelamaan kelihatan juga siapa saja yang ada di dalam. Kamipun mengumpulkan bahan makanan seadanya, mie instan, ikan basah yang dibeli Ipul dan Tatox di perjalanan, dan macam-macam snack. Kami tak bawa beras, karena memang sengaja, ingin menikmati beras asli dari Baduy Dalam. Kulihat Ayah Aja sedang sibuk dalam "imah". Imah adalah sebuah ruang utama di dalam rumah adat Baduy Dalam. Fungsinya pun utama, selain sebagai dapur, juga sebagai tempat tidur. Aku dan Tatox masuk ke imah itu. Ayah Aja sudah menyalakan lampu dan tungku. Lampunya keren banget, belahan batok kelapa setengah bulatan berisi minyak kelapa. Ada sumbu menjuntai yang disulut api. Dari situlah penerangan yang ada di imah ini berasal. Tungkunya terbuat dari tembikar yang pasti buatan sendiri. Di atas lubang tungku itu ada tiga butir batu untuk meletakkan panci ataupun penggorengan di atasnya. Kayu bakarnya cukup banyak. Ada dari batang dan ranting pohon yang sudah kering dan ada pula potongan bambu. [caption id="attachment_21996" align="alignleft" width="300" caption="masih di tengah perjalanan"][/caption] Tatox berbisik di telingaku, "Jepret ya, Te?! Aku nggak kuat nih melihat obyek yang keren banget buat diabadikan!" Kuperhatikan wajah Tatox amat memelas. Ia gemas sekali, tangannya sudah gatal untuk mengambil kamera dari tas ranselnya. "Tox, memang kamu saja yang kepingin motret? Jangan dikira aku juga nggak nafsu! Tapi kalau kita lakukan itu, dimana kehormatan kita?" Kami berduapun sama-sama menyadari untuk tidak mengikuti nafsu memotret semua yang klasik, langka, dan yang pasti, menarik untuk dipotret. Kuperhatikan Ayah Aja begitu serius memasak nasi, dan menyiapkan makanan lainnya. Beberapa teman kami masuk ke dapur untuk membantunya. Tapi ia malah meminta mereka istirahat saja. Bagaimana dengan dirinya sendiri? Apakah ia tak merasa lelah? Yang pasti, secara manusiawi kurasa ia capek juga. Tapi ia harus melayani tamu-tamunya. Aku salut dengan sikap Ayah Aja. Aku teringat pesan Nabi Muhammad, SAW., "Kalau Anda beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tamu!" Ayah Aja masih sibuk memasak. Sebagian temanku sudah tertidur beralaskan tikar pandan. Hali dan Pacheko menyandarkan kedua kakinya di dinding bilik, agar darahnya turun. Biasanya cara itu efektif untuk mengurangi rasa pegal di kaki. Aku keluar dari rumah yang damai ini untuk menemui Wakil Jaro Tangtu Tujuh di Cibeo : Ayah Mursyid.

Catatan Selanjutnya : Ayah Mursyid

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun