Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dari Ekspedisi ke Fiksi

26 Februari 2011   15:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:15 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada bukuku yang berjudul EKSPEDISI WALISONGO, yang merupakan kumpulan tulisanku di Kompasiana ini, ada beberapa temanku yang menanyakan perihal fiksi di halaman awal buku tersebut. Rata-rata meminta agar fiksi tersebut mestinya ditulis dengan lengkap. Mohon maaf kepada teman-teman yang memintanya. Fiksi itu tak kusertakan karena memang buku Ekspedisi Walisongo bukanlah buku Fiksi, tapi sekedar catatan perjalananku bersama teman-teman. Tentang Fiksi tersebut, akan saya tuliskan pada postingan ini. Inilah Fiksi tersebut, yang masih kucicil lanjutannya. Selamat menikmati! [caption id="attachment_93357" align="alignnone" width="640" caption="Ekspedisi Walisongo, Menyerap Sejarah dalam Legenda"][/caption] Malam Pertama : Kosongkan!

ini adalah malam pertamaku menelusuri ketinggian puncak gunung. Terbetik keinginan untuk terus melangkah. Terasa kelelahan meskipun belum berjejak jauh. Pikiranku mengembara, fokus sudah mulai terasa seperti yang kujalani"buang air dalam gelasmu!" pinta sang guru. Gelas yang penuh tak akan bisa menerima kebajikan baru. Malam pertama ini kujejaki. Duapuluh tiga perlikuan kulintasi. Lelah, namun harus kulakukan. Hingga kurasakan di akhir perlikuan : kedamaian Kulintasi belantara malam menuju puncak. Akan tercatat dalam jejakku. Dalam kasih sayang sang guru yang membimbingku.

Malam Kedua : Jalani Saja!

Aku masih terus melangkah, mengikuti sang guru. Kelelahan semakin terasa, hingga aku beranikan diri untuk bertanya. "Sejak kapan guru menapaki perjalanan ini?""Ceritaku panjang. Kamu akan lelah mendengarkannya." Sang Guru tetap melangkah. Akupun berhenti bertanya dan hanya mengikuti apa yang ia lakukan. Melakukan apa yang ia perintahkan...

Malam Ketiga : Telaga Cermin

Aku sampai di sebuah telaga. Sang Guru duduk bersila di atas sebuah batu besar di pinggir telaga. Aku berkaca pada genangannya. Kubasuh wajahku yang berdebu dengan air sejuk itu.Aku bercerita tentang mereka yang melayang dalam belantara dunia. Sang Guru berkata, "Jangan perhatikan mereka! Perhatikan dirimu saja!" Aku malu. Sang Guru memintaku kembali bercermin pada genangan telaga bening.

Malam Keempat : Sang Juara

Dari sebuah ketinggian, aku melihat gerakan riuh sekelompok orang yang sedang mendaki gunung ini. Masing-masing saling mendahului, menunjukkan siapa dirinya, siapa yang paling cepat dan tentunya yang paling hebat. Mereka berlomba-lomba menuju pencapaiannya. Yang terdepan tertawa. Yang terbelakang menundukkan kepala.Ingin aku mengikuti mereka. Sepertinya berkelompok lebih menyenangkan daripada menyendiri. Sang Guru tersenyum memperhatikan keinginan yang terbersit di hatiku. "Juara sejati bukanlah mereka yang sanggup mengalahkan lawannya. Juara sejati adalah mereka yang sanggup mengalahkan dirinya sendiri..." Aku terus menanjaki bebatuan licin. Sang Guru berjalan di depanku. Kecuali ketika medan jejak lebih mudah untuk kulalui, ia pasti berjalan di belakangku.

Malam Kelima : Kematian

Langkahku terhenti di depan sebuah makam yang sepi. Hanya berwujud tumpukan batu sebagai nisannya. Pahatan pada batu itu menunjukkan nama sang almarhum dengan aksara yang sulit terbaca.Sang Guru membimbingku melantunkan dzikrullah dan doa bagi sang mayit. "Yang dikuburkan di sini adalah seorang waliyullah. Beliau memang tak dikenal sejarah. Tapi muridnya hingga kini tetap menyebarkan ajaran-ajarannya hingga ke penjuru dunia." "Siapakah beliau?" Tanyaku kepada Sang Guru. "Nanti kamu akan mengenalnya. Yang tertulis di batu ini hanyalah waliyullah." Sang Guru beranjak melanjutkan perjalanan. Aku mengikutinya dari belakang. Masih kuperhatikan sesekali kuburan tersebut. Tidak seperti makam orang-orang terkenal yang dibangun dengan megah. Hanya sebuah batu dan sebuah pohon melati sebagai pelengkap pusaranya. Sang Gurupun berhenti dan memperhatikan aku, yang masih memperhatikan makam itu. Hingga aku tersadar setelah beberapa milimeter lagi, aku hampir menabraknya. "Matilah, sebelum datang kematianmu!" Senyum Sang Guru.

Malam Keenam :  Biarkan Ia Memilih

Petang menjelang malam, aku hampir sampai di puncak ketinggian. "Insya Allah satu malam lagi kita sampai." pernyataan Sang Guru menambah semangatku.Aku berjalan di depan Sang Guru. Seekor kalajengking menghentikan langkahku. Yang terpikir olehku adalah, bisa jadi kalajengking ini akan menghambat perjalanan kami. Bisa jadi ia akan melukai satu di antara kami. Maka akupun jongkok untuk melemparkan kalajengking itu dari jalur pijakan kami. Belum sampai aku menyentuhkan sebatang ranting untuk melontarkan tubuh kecil kalajengking yang terdiam menatapku, sang guru berkata, "Biarkan ia memilih jalannya sendiri. Kamu tak lebih tahu kemana ia menuju. Kamu tak lebih mengerti, apa yang ia cari. Biarkan ia menyelesaikan perjalanannya." "Bisa jadi ia akan menghambat perjalanan kita, guru!" alasanku "Bisa jadi pula, kita yang menghambat perjalanannya." Sahut Sang Guru. "Biarkan ia melanjutkan perjalanannya dan kitapun melanjutkan perjalanan kita!" Sang Guru menepuk pundakku agar meninggalkan seekor kalajengking itu. Sang Guru melanjutkan langkahnya. Aku mengikutinya sambil sesekali menatap kembali seekor kalajengking yang juga melanjutkan perjalanannya menuju dua batu yang berhimpitan.

Malam Ketujuh : Tiba di Puncak

Kebahagiaan menguasai hatiku. Akhirnya, malam ketujuh ini kami sampai di puncak yang menjadi tujuan perjalanan kami. Aku membayangkan kembali pengalaman yang kualami sejak malam pertama hingga malam ini. Terbersit kepuasan karena berhasil menyelesaikan rintangan demi rintangan. Mungkin, inilah yang dinamakan kebahagiaan saat mencapai keberhasilan.Sebuah batu besar beralaskan angin dan beratap pepohonan yang rindang, menjadi akhir perjalanan kami. Aku duduk dalam kebahagian, mengucap syukur atas keselamatan yang Tuhan berkatkan. Sang Guru berwudhu pada pancuran mata air, di sebuah dinding cadas di sisi kanan petilasan. Aku mengikuti apa yang ia lakukan. Di atas batu besar luas dan memanjang. Sebelum memulai shalat malam, ia menyampaikan, "Alhamdulillah, kita telah sampai di puncak ketinggian. Ini bukanlah tujuan. Ini baru permulaan..." Aku terperangah. Kebodohan begitu lekat dengan kepongahan. Kepuasan begitu dekat dengan kesombongan.

Belum Usai

Kitab itu ditutup Sang Guru. Pertanda pelajaranku saat ini dicukupkan. Aku baru saja memahami bahwa puncak yang menjadi tujuan perjalananku, bukanlah tujuan yang sesungguhnya. Bahkan, ini merupakan sebuah awal untuk memahami perjalanan spiritual. "Kita tak akan pernah tahu kapan pelajaran ini usai. Seperti kita tak mengetahui kapan kehidupan ini selesai." ujar Sang Guru sambil beranjak dari batu, memunguti ranting-ranting kayu. "Kalau aku sudah paham tentang hakikat, bukankah aku telah selesai, guru?" Tanyaku "Pemahaman akan hakikat, bukanlah tujuan bagi para pesuluk. Bukan pencapaian bagi sang murid." jawab sang guru, yang sudah mengumpulkan lebih banyak ranting kering daripadaku. "Berarti, tak akan pernah selesai?" "Dia yang memulai, Dia pula yang menentukan kapan kehidupan ini berakhir. Kita hanya menjalankan sisi lain kehidupan yang Dia ciptakan." "Aku akan tetap di sini selamanya?" "Kapanpun kamu mau, silakan pulang. Dia tak pernah memaksa siapapun untuk mendapatkan rahasia-Nya." "Apakah rahasia Tuhan merupakan tujuan perjalanan bagi sang murid?" "Jika aku menjawab, maka itu bukanlah rahasia-Nya. Tapi rahasiaku. Aku bukanlah siapa-siapa sehingga bisa mencipta rahasia."

Anutan dan Kekuasaan

Murid bertanya setelah sang guru menyelesaikan permenungan malam. "kenapa sesama pemeluk anutan tetap berebut kuasa, padahal mereka sama-sama menjadikan anutannya sebagai dasar budi pekerti dan ritual?" Sang guru menoleh ke arah muridnya. "Konflik kekuasaan itu merupakan tradisi yang tak usang dan tak usai oleh ruang dan waktu." "Jika mereka kembali pada dasar moral, mestinya bisa berdamai!" "Anutan bukanlah jiwa mereka yang dikuasai oleh amarah dan haus kuasa." "Tapi mereka selalu menjadikan anutan sebagai simbol kekuasaannya?!" "Begitulah, anutan memang sering dijadikan jubah kekuasaan. Tapi tak menjadi jiwa..." Murid merenungkan dialognya dengan Sang Guru. Ia pamit beranjak menikmati purnama

Melepaskan Pakaian

"Mereka menyatakan diri sebagai wakil Tuhan di muka bumi!" penuh semangat, sang murid menyampaikan apa yang diketahuinya dari obrolan sesama murid. Biasanya begitu. Saat istirahat, para murid biasa melepas lelah, bersandar di batang sawung, menikmati semilir angin di teduhnya pohon yang rindang, ada juga yang berbaring di depan mushalla. Semuanya dilakukan sambil bercengkrama tentang relitas di luar sana, di pusat kesibukan dunia. "Para pemangku wilayah menuntut kepatuhan rakyatnya. Mereka mengatasnamakan Tuhan. Mereka memperkenalkan kembali dirinya yang baru, pribadi berderajat lebih tinggi dari rakyat. Merekapun menaklukkan wilayah lain yang belum tunduk pada kekuasaan wakil Tuhan di muka bumi... Mengapa terjadi seperti ini, Guru?" tanya sang murid kepada gurunya. "Mereka memang dahaga akan kuasa!" Selak seorang murid lainnya. "Dan menjadikan anutan sebagai alasan untuk melebarkan kekuasaannya!" Sambut yang tak jadi mengantuk. "Yang menjadi masalah, citra agama menjadi rendah akibat penaklukan yang mereka lakukan. Apakah agama kita tak melerai antara jiwa dan nafsu?" Kembali sang murid yang pertama bertanya menyampaikan kegelisahannya. "Sesungguhnya agama itu adalah jiwa. Ketika sampai ke setiap jiwa yang terbuka. Ia adalah pakaian bagi yang benar-benar mengenakannya. Namun kenyataannya, banyak orang yang melapisinya dengan pakaian dirinya yang penuh noda." Jawab sang guru. "Kenapa bisa begitu, guru?" "Akupun bisa begitu. Banyaknya murid, bisa mencipta pakaian kesombongan, bahwa aku adalah guru yang mulia. Banyaknya pengikut, bisa mencipta pakaian kesombongan. Akupun bisa begitu..." urai sang guru. "Bagaimana agar tidak seperti itu?" "Lepaskan pakaian kita! Kenakan pakaian yang lahir dari jiwa yang tentram!" "Bagaimana dengan mereka yang bergumul dengan jubah kekuasaan?" "Mereka enggan melepaskan pakaian, karena khawatir kedinginan dan dirundung malu. Kedinginan karena pakaian jiwa memang lebih tipis dari sutra. Malu karena tak akan dipandang lebih tinggi derajatnya." Sang guru menjelaskan.

Demikian fiksi yang melanjutkan Ekspedisiku. Sesuai janjiku akan mempostingnya di Kompasiana, semoga menjawab permintaan teman-teman. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun