[caption id="attachment_21992" align="alignleft" width="300" caption="sebelum memasuki wilayah terlarang untuk memotret. sebukit lagi sampai di cibeo"][/caption] Saat sampai ke puncak bukit terakhir, kami sama-sama bersyukur dan berbahagia. Ternyata kami sanggup melintasi track yang cukup berat bagi orang yang baru pertama kali melintasi jalur ini. Akupun merasakan kebanggaan karena bisa melewati segala tantangan dari track yang mendaki, berkelok, dan licin. Tapi kegembiraan itu mereda ketika menyadari bahwa kami harus menuruni bukit terakhir ini. Turunan dari bukit terakhir ini cukup panjang dan kemiringannya ada yang nyaris mencapai 80o. Mungkin panjangnya sama dengan panjang dakian bukit terakhir ini. Bahkan yang kami rasakan, lebih panjang dari pendakian yang sangat melelahkan. Tapi tak ada pilihan, selain melanjutkan perjalanan melintasi track yang lebih licin dibanding track sebelumnya. Kami harus sampai di Cibeo yang sudah ada di ujung pandangan mata kami. Untuk gambaran sederhana, aku merekam track perjalanan kami dari Ciboleger ke Cibeo dengan Google Earth. Silakan lihat di sini. Aku menanyakan waktu kepada salah seorang teman. Kini sudah jam 10.15 WIB. Kami semua teringat dengan Jaro Dainah ketika ijin tadi pagi. Beliau mendoakan kami akan sampai tidak lebih dari dua jam. Dan ternyata prediksi ataupun doanya benar! Kami semua memuji Tuhan, ternyata kami sanggup melintasi perjalanan yang cukup berat sesuai dengan doa seorang Jaro Dainah : 2 Jam! Sulit dipercaya, biasanya Ipul dan Oetjoep membutuhkan waktu 4-5 jam. Tapi kali ini kami merasakan dan menyaksikan sendiri ijabah Allah atas doa Jaro Dainah. Jembatan gantung ada di hadapan kami. Jembatan itu terbuat dari bambu yang dirangkai dan diikat dengan tali ijuk. Dari tengah jembatan, kuperhatikan air sungai yang bening dan deras. Kuperhatikan tamu-tamu dari tempat lain yang sedang mandi di balik bebatuan. Aku merasakan, kelelahan perjalanan tadi terbayar lunas dengan karya budaya yang dahsyat ini. Baru dengan sebuah jembatan dan sungai yang jernih saja, aku merasakan kelelahanku menguap ke belantara hutan Cibeo ini. Belum lagi ketika melihat rumah adat Baduy Dalam yang berpintu satu. Dan yang dahsyat bagiku adalah, tak ada satupun paku yang digunakan untuk merekatkan bambu dan kayu hingga menjadi sebentuk rumah. Inilah salah satu karya budaya Baduy yang membuatku hormat pada kejeniusan orang Baduy Dalam. Sayang sekali kami tak diizinkan memotretnya. Tapi bagi anda yang yang penasaran, silakan searching saja di web. Pasti ada saja pengunjung yang berhasil memotret dan mempublikasikannya sebagai hasil karya fotografi.
Catatan Selanjutnya : Rumah Satu Pintu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H