Mohon tunggu...
Mataharitimoer (MT)
Mataharitimoer (MT) Mohon Tunggu... Konsultan - Blogger, bekerja paruh waktu dalam kegiatan literasi digital untuk isu freedom of expression dan toleransi lintas iman.

menulis sesempatnya saja | tidak bergabung dengan partai politik apapun Buku yang ditulis : Jihad Terlarang (2007, 2011), Guru Kehidupan (2010), Biarkan Baduy Bicara (2009), Ekspedisi Walisongo (2011). Bang Namun dan Mpok Geboy (2012)\r\n \r\nJabat erat!\r\n

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Ekspedisi Walisongo : Menafsirkan Sebuah Ketinggian

1 November 2009   07:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 2985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karier. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Makam Sunan Muria | Desa Colo, Jepara, Jawa Tengah Menelusuri perjalanan ± 20 KM dari makam Sunan Kudus, kami tiba di desa Colo. Jam 9 malam di malam kedua ini kami memarkirkan dua kendaraan yang tak kenal lelah, lalu berjalan kaki menuju makam Sunan Muria. Aku salut terhadap stamina teman-teman yang tak pula menampakkan kelelahannya. Padahal sudah dua malam ini mereka belum merebahkan badan dan tidur sebenar-benarnya tidur. Mungkin nadzar yang telah terucap, tekad yang membara, memberikan energi ekstra. Sebelum memasuki kompleks makam Sunan Muria, aku dibuat ternganga melihat gerbang dengan tangga beranak-pinak. Menurut informasi masyarakat setempat, panjang anak tangga hingga mencapai ketinggian makam Sunan Muria adalah 1 Kilometer. Jika membayangkan jalan yang lurus, jarak 1 KM terkesan enteng. Tapi pijakan yang harus kami lalui berkelok-kelok dan makin meninggi. Apakah aku akan sampai sementara pergelangan kaki kananku terkilir ketika turun dari kendaraan? Aku terus melangkah mengekor teman-teman yang lebih dulu di atas sana. Aku benar-benar mengekor karena dari sepuluh anggota tim, akulah yang berada pada deretan terbelakang. Namun baru berjalan sekitar 20 meter, aku mendapatkan teman seperjalanan. Ialah Iqbal, temanku yang mengendarai mobil tua. Rupanya ia juga tak kuat mengikuti langkah teman-teman yang lebih cepat. Kamipun menapaki satu per satu anak tangga berdua saja. Melangkahi 5-10 anak tangga, lalu istirahat sekitar 1 sampai 3 menit. Kemudian kami mendaki anak tangga berikutnya, yang telah kami lupakan sudah berapa hitungan, ketika sejak awal ternyata kami sama-sama menghitung dari anak tangga pertama. Ketika nyeri kakiku semakin terasa, kamipun duduk bersama, berbagi cerita dan berbagi kesan. Begitu seterusnya hingga mencapai puncak yang harapkan, sebuah bangunan megah yang bersatu dengan masjid. Itulah makam Sunan Muria. [caption id="attachment_17581" align="alignleft" width="242" caption="makam sunan muria di dalam masjid ini"][/caption] Kami berdua kehilangan jejak teman-teman. Mereka sudah lebih dahulu sampai dan telah menyebar menuju tempat yang mereka sukai. Kami masuki lorong masjid ini. Panjang sekali hingga bertemu dengan sekelompok petugas penunggu makam. Mereka menjelaskan arah dan mengarahkan hingga kami sampai di depan sebuah makam. Makam Sunan Muria berbentuk sebuah bangunan berkonstruksi kayu berukir, beratap sirap model joglo. Sayang sekali aku tak mendapatkan izin memotretnya. Pada sisi makam kuperhatikan sekat dinding dengan ukiran seperti bunga. Aku teringat tentang kisah Sunan Muria yang kurang suka dengan karya ukiran berwujud hewan ataupun manusia. Ia lebih menyukai corak bunga dan tumbuhan. Di depan makam aku duduk bersimpuh di antara Iqbal dan seorang tua yang sejak awal kuperhatikan hanyut dalam doa dan wirid. Bahkan sempat kudengar isak tangis dari orang tua yang duduk bersila di sebelah kananku. Baru kusadari bahwa orang tua itu adalah salah satu anggota tim ekspedisi. Kami memanggilnya Kopral Hanafi. Haru hatiku melihatnya masih hanyut dalam lantunan doa, ketika kami beranjak meninggalkan makam. Sambil bercengkrama, kami telusuri lorong panjang yang merupakan arah keluar meninggalkan makam Sunan Muria. Namun bayangan tentang sang Sunan masih lekat dalam pikiranku. Inilah satu-satunya wali yang sejarahnya menyimpan misteri bagiku. Ada sekelompok sejarawan yang menganggap Sunan Muria adalah anak Sunan Kalijaga. Buah dari pernikahan Sunan Kalijaga dengan Dewi Sarah binti Maulana Ishaq. Namun ada pula yang lebih setuju bahwa ia adalah anak dari Sunan Ngudung, ayahanda Sunan Kudus. Bahkan ada pula yang menyebut bahwa Sunan Muria keturunan Tionghoa, dengan sang ayah seorang Kapitan Tionghoa bernama Gan Sie Cang. Namun dari beragam versi tentang silsilah Sunan Muria, semua sepakat bahwa nama aslinya adalah Raden Umar Said. Hingga aku selesai menelusuri lorong dan sampai di luar gedung, pikiranku tentang beragam versi sejarah sang wali masih mengawang-awang. Entah mana yang mendekati kebenaran. Terlepas dari perbedaan versi silsilah sang wali, aku yakin tentang sosok Sunan Muria yang memiliki strategi dakwah mirip dengan Sunan Kalijaga dan pendekatan masyarakat seperti yang dilakukan Sunan Bonang, Guru Sunan Kalijaga. Sunan Muria dikenal dengan kemahirannya mengaransemen musik tradisional Jawa. Ia mencipta karya macapat, sinom, dan kinanti. Bahkan sampai sekarang karyanya itu masih lestari. Lewat tembang spiritual itulah ia mengajak masyarakat mengamalkan ajaran Islam. Seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang, Raden Umar Said lebih cenderung berdakwah kepada rakyat jelata. Ia meninggalkan pusat kota Kerajaan Demak dan menyebrang pantai selat menuju Gunung Muria. Menurut sumber literer para sejarawan, pada abad XV Pegunungan Muria terpisah dari pulau Jawa oleh sebuah selat. Aku membayangkan sebuah suasana yang jauh dari pusat pemerintahan, jauh dari hiruk pikuk kesibukan kota, dan jauh dari konflik politik. Sunan Muria membina masyarakatnya tanpa membentuk sebuah dinasti kekuasaan. Ia hanya membentuk sebuah padepokan sebagai pusat pembinaan masyarakat menuju akhlaq Islam. Ia tak mau terlibat dan melibatkan ummat dalam persengketaan antara dominasi Demak dan binar kharisma Kudus. Aku berdiri di bibir perbukitan. Memandang pijaran lampu kota jauh di bawah sana. Berlatar gelapnya langit malam. Aku merenung dari sebuah ketinggian Gunung Muria. Merenungkan ragam penafsiran atas ketinggian kharisma Sunan Muria.

laporan selanjutnya : wali dengan pusara melati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun