Korupsi adalah biang kerok dari seluruh permasalahan yang ada di Indonesia. Kemandekan pembangunan suatu daerah dan juga tidak meningkatnya kesejahteraan masyarakat daerah bisa saja disebabkan oleh korupsi.
Korupsi adalah momok yang sangat menakutkan, bagaikan monster yang siap menerkam pundi-pundi kekayaan dan kesejahteraan masyarakat.
Melihat hal itu, pantaslah apabila korupsi itu dijadikan sumber dari segala sumber keterpurukan suatu bangsa.
Biaya politik yang tinggi, lemahnya kebijakan penegakan hukum dan juga tidak adanya political will pemerintah pusat, terutama Kementerian Dalam Negeri untuk memperketat pengawasan dan audit kucuran dana-dana ke daerah, terutama dana otonomi khusus.
Bayangkan, salah satu provinsi penerima otonomi khusus (otsus) seperti Papua itu tiap tahun dikucurkan anggaran sebesar Rp 3 triliun. Dan selama 10 tahun ini telah dikucurkan Rp 30 triliun, dan Kementerian Dalam Negeri tidak melakukan pengawasan dengan ketat terhadap kucuran dana tersebut.
Padahal, apabila dilakukan pengawasan dan audit tiap tahun, tentunya kucuran anggaran otsus yang bocor dapat diminilisir.
Merajalelanya korupsi di Papua membuat otonomi khusus tidak berjalan dengan baik, dan menghilangkan hak untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup warga Papua.
Ada yang menarik dari pernyataan Michael Rumaropen, aktivis Komunitas Adat Papua Anti Korupsi (Kampak) Papua mengatakan persoalan korupsi sudah sangat parah di Papua. “Kita berusaha mengungkap korupsi di Papua, tetapi malah dikejar-kejar aparat yang didorong oleh elite politik yang korup,” kata Rumaropen. Seperti dikutip kompas.com, Jum’at (11/11/2011).
Coba kita pikirkan, bagaimana mungkin adanya dana otsus Rp 3 triliun per tahun, plus adanya anggaran APBD tiap tahun untuk Papua. Itu merupakan anggaran yang cukup besar bukan? Tapi nyatanya, masyarakat Papua tetap saja miskin. Di Papua tetap saja tidak memiliki infrastruktur yang memadai.
Lalu pelayanan kesehatan di Papua tidak berjalan baik. Dan satu lagi, pendidikan tidak merata di Papua. Yang lebih parah adalah kesejahteraan ekonomi masyarakat Papua tidak meningkat,
Empat bidang yang menjadi target dikucurkan anggaran otsus adalah infrastruktur, pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan ekonomi. Tapi apakah ada kemajuan dalam empat bidang yang menjadi target dikucurkannya dana otsus oleh pemerintah pusat. Tidak! Sekali lagi tidak. Lalu apa penyebab tidak berjalannya kucuran dana otsus di Papua?
Dugaan saya adalah adanya korupsi yang sangat merajalela di Papua. Siapa yang bertanggungjawab atas korupsi dana otsus? Ini yang harus ditelusuri dan diselidiki lebih dalam oleh KPK dan BPK. Lalu, siapakah yang menerima dana otsus di Papua dan mengimplimentasikan dana otsus?
Tentu saja para walikota dan bupati di Papua. Nah, KPK dan BPK harus menelusuri dan menyelidiki dugaan korupsi dana otsus di Papua. Ingat, dana Rp 30 triliun itu besar sekali loh.
Tapi mengapa rakyat Papua tak sejahtera-sejahtera dan tetap saja miskin. Jawabannya satu, tentu saja korupsi. Yang aneh, di Papua dana otsus penggunaannya tidak jelas dan tidak adanya program yang jelas.
Bahkan, dana otsus itu bergabung dengan anggaran APBD di Papua. Ini yang aneh. Mengapa? Karena seharusnya antara anggaran APBD dan dana otsus itu dipisahkan, dan tidak disatukan. Sebab, dalam target program dan implimentasinya itu tidaklah sama. Ini tanggungjawab siapa? Tentu saja para walikota dan bupati di Papua.
Karena itu, tidak ada alasan lagi bagi KPK dan BPK untuk tidak segera menelusuri dugaan korupsi dana otonomi khusus di Papua. KPK dan BPK segera bidik korupsi di Papua!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H