Sebagian masyarakat Indonesia sering beranggapan, jika Arab Saudi sudah memasuki 1 Ramadhan atau 1 Syawal, maka Indonesia juga harus mengikutinya. Alasannya, waktu di Indonesia lebih dulu empat jam dibandingkan Arab Saudi. Hal ini sebenarnya merupakan pencampuradukkan dua sistem penanggalan yang berbeda, yaitu penanggalan Masehi yang menggunakan pergerakan matahari dan penanggalan hijriyah yang berdasarkan pergerakan bulan.
Dalam penanggalan Masehi, waktu Indonesia selalu lebih cepat dibandingkan Arab Saudi karena posisi Indonesia yang berada di timur Arab Saudi. Sedangkan dalam penanggalan hijriah, waktu di Indonesia belum tentu lebih dulu dibanding Arab Saudi. Kondisi ini disebabkan karena garis awal bulan selalu berubah setiap bulannya dan bentuknya miring, sehingga ketinggian hilal bisa saja berbeda antar satu tempat dengan tempat lainnya walaupun tempat tersebut memiliki jarak yang boleh dikata tidak terlampau jauh. Hal ini pernah terjadi pada zaman Mu’awiyah sekitar abad ke-7, dimana pada saat itu Syam (Suriah) lebih dulu satu hari memasuki Ramadhan dibandingkan Madinah.
Berdasarkan data astronomis, posisi ketinggian hilal di Arab Saudi kemarin berada pada 0 derajat 12 menit. Karena posisinya yang sudah lebih dari 0 derajat, yang berarti hilal sudah mewujud; maka kalender Ummul Qura' Kerajaan Saudi menetapkan 1 Ramadhan jatuh pada hari Selasa 09 Juli 2013. Namun karena dalam penentuan 1 Ramadhan dan 1 Syawal Kerajaan Saudi menganut sistem Rukyat Murni(harus melihat hilal dengan mata telanjang), maka karena tak satupun Rakyat Saudi yang melihat hilal, maka Pemerintah Saudi menetapkan 1 Syawal jatuh pada hari Rabu 10 Juli 2013.
Ini berbeda dibanding dua tahun lalu(2011), dimana penentuan kalender Ummul Qura' Kerajaan Saudi pada 1 Syawal 1432 Hijriah sejalan dengan keputusan akhir Kerajaan; yakni jatuh pada hari Selasa, 30 Agustus 2011. Mengapa bisa sejalan? Karena pada Senin (29/8/2011), cukup banyak Rakyat Saudi yang telah melihat hilal, padahal posisi hilal ketika itu hanya kurang dari 1 (satu) derajat. Hal ini membuat banyak astronom, termasuk Mohamad Odeh(suhunya Thomas Djamaluddin) yang mengatakan bahwa mereka(Rakyat Saudi) NGAWUR dan SALAH LIHAT.
Namun tidak seperti Pemerintah dan sebagian ulama Indonesia yang meragukan kesaksian warganya,
dengan tegasnya para ulama Arab Saudi yang diikuti oleh Pemerintahnya tidak sedikitpun meragukan kesaksian warganya yang telah melihat hilal. Mereka berpegang teguh dengan sunnah yang telah digariskan oleh Rasulullah Muhammad saw:
“Sahabat Abdullah bin Abbas berkata: Seorang Badwi datang kepada Rasulullah saw lalu berkata: sungguh saya telah melihat hilal (hilal ramadhan). Maka Rasulullah saw bertanya : Apakah engkau mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah? Badwi menjawab: ya. Rasulullah saw bertanya lagi: Apakah engkau mengakui bahwa Muhammad itu Rasulullah? Badwi menjawab: ya. Lalu Rasulullah bersabda: Hai Bilal, beritahulah orang-orang supaya mereka berpuasa.”(H.R Abu Dawud, Nasai, Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
“Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: orang-orang berusaha melihat hilal lalu saya memberitahukan kepada Rasulullah saw bahwa saya telah melihat hilal, maka beliau berpuasa dan memerintahkan orang-orang agar supaya berpuasa”(H.R Abu Dawud, Daru Qutni dan Ibn Hibban)
Selain itu dikisahkan pula:
“Bahwa suatu rombongan (terdiri dari para pedagang yang berkendaraan onta yang mengarungi padang pasir) datang kepada Rasulullah saw seraya mereka memberikan kesaksian bahwa mereka kemarin telah melihat hilal, maka Rasulullah saw memerintahkan orang-orang untuk berbuka (beridul fitri) dan pada hari berikutnya supaya mereka pergi ke tempat shalat (untuk bershalat Id).”(H.R. Ahmad bin Hambal, Abu Dawud, Nasai, dan Ibnu Majah)
Dalam riwayat lain, Nabi saw bersabda: “Shumuu li ru’yatihi wa ufthiruu li ru’yatihi” (shaumlah kalian dengan melihat hilal, dan berbukalah saat awal Syawal dengan melihatnya juga). [HR. Bukhari, Muslim].