Mohon tunggu...
Sumadi Adhie
Sumadi Adhie Mohon Tunggu... lainnya -

seseorang yang ngin terus maju, tanpa mengingkari apa yang tlah kita dapat...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rupa Rupa Mati

25 September 2011   13:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:38 568
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesuatu yang sungguh cukup berkesan bila kita diberi kesempatan untuk mendengar, walau sedikit, beberapa patah kata dari seorang bijak. Bagai seteguk air di tengah perjalanan,oase di tengah padang gurun, atau semacam itulah.

Kalimat kalimat mutiara mereka hadir dengan wajah mereka sendiri. Dan, tentunya dengan kharisma khas mereka. Ada yang nampak anggun dalam tiap lantunan  kata, lugas tak berbelit, namun ada juga yang membikin kita tertawa terpingkal. Namun tentunya tanpa mengurangi sedikit pun esensi dari ucapan mereka.

Dalam sebuah kesempatan seorang bijak berujar tentang rupa rupa mati. ( jadi agak horror nih,,,!!) Cukup menarik pandangan mereka tentang yang satu ini. Dalam pemikiran mereka, mati digolongkan menjadi 4 tingkatan. Yaitu seda, mati, matek, dan bangka. Keempat kata itu sebenarnya berarti sama, yaitu mati atau meninggal.

Kata Seda, mungkin berasal dari bahasa Jawa halus (krama), untuk mati tentunya dari bahasa Indonesia. Namun untuk kata matek dan bangka, jujur saya kurang tahu darimana kedua kata tersebut berasal. Namun dalam dialek Jawa Timur-an, kedua kata tersebut sering dipakai.

Kita semua pasti tahu bahwa dalam bahasa Jawa ada tingkatan tingkatan kata dilihat dari konteks siapa yang kita ajak bicara. Misalnya saat kita bercakap dengan orang yang sangat kita hormati kita menggunakan krama inggil, dibawahnya lagi ada krama madya, dan seterusnya.

Nah, arti dari keempat kata - seda, mati, matek, dan bangka- yang sebenarnya mempunyai arti sama seolah mempunyai makna yang berbeda.
Misalnya seda, orang bijak tersebut menguraikannya menjadi seksane wis ba’da atau siksanya telah tiada. Yang kedua mati diurai menjadi nikmate wis ganti atau nikmatnya sudah berganti. Pada kata seda seolah tersirat bahwa dunia adalah siksa bagi orang yang meninggal tersebut. Sedangkan untuk kata mati sendiri, seolah menunjukkan bahwa nikmat kehidupan dunia akan diganti dengan “yang lain”.

Selanjutnya matek dan bangka mempunyai konotasi yang buruk. Kata matek misalnya, diurai menjadi nikmate wis entek atau nikmatnya sudah habis. Sedangkan bangka diurai menjadi diobong nang neraka atau dibakar di neraka. Yang bahkan dalam keseharian, kedua kata tersebut sering diucapkan bila subyeknya adalah binatang. Misalnya, “Iku lho pitikmu matek” yang artinya itu lho ayammu mati. Atau juga, “Tikus iku bangkane nang ngendi kok ambune nyenget” yang artinya tikus itu mati dimana kok baunya menyengat.

Dari keempat kata rupa rupa mati itu lah mungkin bisa disimpulkan bahwa ada makna yang baik ataupun buruk sebagai akumulasi tingkah laku manusia itu sendiri.

Atau, kita mungkin hanya menganggapnya sebagai gatok-gatokan (mencocok- cocokkan) suatu kata saja, yang lazim terjadi dalam khasanah kosakata bahasa Jawa ?

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun