Mohon tunggu...
Masykur Alawi
Masykur Alawi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Kekurangan Tenaga Medis di Daerah Terpencil, Ini Solusinya!

30 Desember 2015   05:49 Diperbarui: 30 Desember 2015   14:37 1247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi - Warga memeriksakan kesehatan di Puskesmas Reo, Kecamatan Reok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur. (Kompas/Raditya Helabumi)

Visi Kementerian Kesehatan yang mengharapkan masyarakat Indonesia yang sehat mandiri dan berkeadilan faktanya sulit direalisasikan khususnya oleh daerah yang kurang diminati alias daerah terpencil. Bagaimana tidak, masyarakat belum seluruhnya bisa mengakses layanan kesehatan secara adil dan merata, hal ini salah satunya disebabkan oleh ketimpangan pendistribusian Sumber Daya Manusia kesehatan khususnya dokter.

Langkanya dokter yang berminat ditempatkan di daerah terpencil merupakan penyebab sulitnya mewujudkan pelayanan yang adil, merata, dan profesional. Pelayanan yang adil dan merata artinya tidak ada pembatas, baik daerah kota maupun daerah terpencil harus mendapatkan hak yang sama akan kesehatan. Profesionalisme dalam pelayanan hanya bisa terwujud dengan menempatkan the right man on the right place, pelayanan kesehatan kuratif the right man-nya adalah dokter bukan yang lain.

Faktanya, pelayanan kesehatan yang dilakukan saat ini bisa berjalan hanya dengan kolaborasi lintas profesi, khususnya medis dan paramedis agar pelayanan khususnya pelayanan kuratif tetap bisa berjalan dan bisa diterima oleh masyarakat. Hal ini tidak bisa dielakkan karena rasio  dokter yang ada dan mau ditempatkan di daerah terpencil sangat jauh dari ideal.

Penambahan jaringan dan jejaring Puskesmas seperti Puskesmas Pembantu dan Poskesdes di satu sisi bisa menambah fasilitas kesehatan yang mendekatkan pelayanan kepada masyarakat agar terjangkau, namun di sisi lain justru menambah masalah karena tidak diiringi dengan pelaksana medis yang seharusnya berwenang dan kompeten di faskes tersebut. Tetapi pelayanan tetap harus berjalan dan tidak boleh berhenti karena kurangnya tenaga medis, karena masyarakat tidak mau tahu dan tidak akan menolerir jika tidak ada pelayanan dan masih menolerir meskipun yang melayaninya bukan dokter.

Namun dari sinilah terkadang masalah terjadi, apalagi ketika ada masalah yang diduga dan dikeluhkan malpraktek pelayanan kuratif yang dilakukan oleh paramedis. Dokter sebagai penanggung jawab medis terkadang tidak mau bertanggung jawab dan menyalahkan pelaksana yang bermasalah tersebut, pelaksana juga tidak mau disalahkan sendiri karena dasar penugasan dan penempatannya sebagai pengganti dokter jelas oleh Puskesmas dengan surat tugas dari Kepala Puskesmas.

Kalau hal ini terjadi, rivalitas antarprofesi khususnya medis dan paramedis sulit dielakkan, masing-masing mengklaim pembenarannya, ditambah dengan inervensi organisasi profesi yang membela profesinya dengan sejumlah dasar peraturan yang mereka yakini menjadi payung hukum bagi mereka. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pasti akan mengatakan bahwa kewenangan pelayanan kuratif mutlak adalah dokter bukan perawat atau bidan, Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) dan Ikatan Bidan Indonesia (IBI) pasti melakukan pembelaan bahwa mereka juga menerima fungsi pendelegasian dari dokter yang dilegalisasi oleh Kepala Puskesmas dan mereka juga mempunyai kompetensi dasar kuratif yang diperlukan masyarakat.

Semuanya berujung kepada Kepala Puskesmas, karena baik dokter maupun perawat dan bidan adalah di bawah tanggung jawab Kepala Puskesmas. Namun, yang pasti di sinilah sikap Kepala Puskesmas yang harus bisa melihat secara holistik dan komprehensif, melihat tidak hanya peraturan perundang-undangan yang berlaku saja, tetapi melihat bagaimana dampak terhadap masyarakat jika peraturan itu diterapkan, melihat bagaimana dampak terhadap masyarakat jika pelayanan dihentikan karena tidak ada dokter yang berwenang secara aturan untuk melakukan pelayanan, dan melihat juga paramedis yang seperti apa yang layak diberikan fungsi delegasi untuk bisa menggantikan dokter meskipun secara hukum tetap saja beresiko.

Namun dalam hal ini bukan hanya Kepala Puskesmas yang harus bersikap seperti itu. Organisasi profesi juga diharapkan seperti itu, bisa melihat secara komprehensif dan berpikir sistem, sehingga akan ada win-win solution bukan rivalitas yang bisa merusak kondusivitas internal dan berdampak terhadap pelayanan masyarakat. Organisasi profesi jangan hanya memunculkan ego profesinya masing-masing tanpa melihat lebih jauh keadaan di lapangan khususnya di daerah terpencil. Pemerintah juga jangan menggeneralisasi peraturan tanpa melihat keterbatasan yang ada.

Solusi yang paling tepat adalah duduk bersama antara pemerintah dengan organisasi profesi untuk menyelesaikan masalah ini, diskusikan dengan IDI bagaimana bisa melakukan pembinaan terhadap anggotanya untuk mau ditempatkan di semua daerah untuk fungsi pengabdian masyarakatnya, sehingga kewenangannya tidak tergantikan oleh profesi lain. Diskusikan dengan PPNI dan IBI agar anggotanya bisa lebih berkoordinasi dan berkolaborasi dengan dokter dan terus meningkatkan kompetensi profesinya. Yang lebih penting adalah diskusikan dengan mereka semua bagaimana bisa melayani masyarakat secara optimal sehingga Visi Kemenkes, yaitu masyarakat yang sehat, mandiri dan berkeadilan bisa terwujud.

Bravo dokter, bravo perawat, bravo bidan, bravo tenaga kesehatan, marilah kita bersatu dan lebih merapatkan barisan untuk mewujudkan Indonesia sehat, generasi sehat yang siap membangun Negeri ini...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun