Mohon tunggu...
Masykur Mahmud
Masykur Mahmud Mohon Tunggu... Freelancer - A runner, an avid reader and a writer.

Harta Warisan Terbaik adalah Tulisan yang Bermanfaat. Contact: masykurten05@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rahasia Dibalik Sudut Pandang, Pengaruh Apresiasi dalam Dunia Pendidikan

23 Juni 2016   01:35 Diperbarui: 23 Juni 2016   01:50 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Seorang pembicara dalam acara TEDTALK di Newyork november 2014 memaparkan bagaimana cara pandang seseorang mempengaruhi intepretasi objek yang dilihat. emily Balcetis mengungkapkan bahwa perception is subjective artinya persepsi condong mengarah kepada bagamana kita sebagai individu menerjemahkan apa yang kita lihat, bukan menurut apa yang orang katakan. Faktanya,  apa yang kita lihat sebenarnya sudah melalui filter melalui "mata" pikiran kita. 

Seseorang yang sedang diet akan melihat sebuah apel berukuran besar jika dibandingkan dengan mereka yang tidak mengukur kadar kalori. Artinya,  apel yang sama akan dilihat berbeda oleh 2 orang berbeda dipengaruhi oleh persepsi masing-masing. Sama halnya ketika seseorang dalam keadaan bermasalah akan melihat sesuatu secara berbeda dimana sisi negatif akan mempengaruhi apa yang dilihat karena sudut pandang yang berbeda.  Jika sebuah gelas yang diisi setengah air,  maka bisa saja orang akan berkata gelas tersebut terisi setengah atau kosong setengah. Intinya adalah sama yaitu bahwa gelas hanya terisi setengah. Namun cara kita melihat bisa saja berbeda. 

Sebagai seorang psikolog sosial, Emily membandingkan dua kelompok yang diharuskan lari menuju garis akhir dan melihat perbedaan antar kedua kelompok ini. Kelompok pertama diberi instruksi agar hanya membayangkan garis akhir(finish line) dan tidak menghiraukan apapun yang ada di sekitarnya. Sedangkan kelompok kedua di intruksikan agar fokus pada sisi kanan dan kiri dan tidak membayangkan garis akhir. Ternyata hasilnya berbeda. 

kelompok pertama dapat lari lebih cepat 30% dibandingkan kelompok kedua. Kenapa demikian? Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ketika seseorang fokus akan apa yang dikerjakannya dan memiliki motivasi tinggi akan berhasil melakukan lebih cepat dibanding mereka yang tidak terfokus dan tidak termotivasi. Ini membuktikan bahwa seseorang yang fokus melihat sisi negatif akan membuat otak memandang yang lainnya juga negatif, namun disaat fokus memandang sisi positif maka otak juga akan bekerja positif. 

Jika dikaitkan dalam sistem belajar,  pandai dan bodoh sebenarnya relatif bagaimana kita memandangnya dan menvisualisasikan. Seorang murid yang punya pola pikir positif maka pandangannya akan positif dan usahanya akan lebih besar walau kemampuannya kurang. Sebaliknya, murid yang punya IQ tinggi bisa saja berprestasi rendah pada saat cara pandangnya negatif dan motivasinya pun kurang. Lantas,  bagaimana pola pendidikan di tempat kita. Saya pribadi melihat pola pendidikan  dan pengajaran di Indonesia lebih menitikberatkan pada hasil bukan proses. Akhirnya apresiasi terfokus pada siswa pandai yang punya nilai bagus secara akademik dibanding mereka yang punya kemampuan rata-rata namun punya semangat kuat dalam belajar. Hal ini menjadikan sistem belajar hanya tertuju pada yang pandai saja, sedangkan yang bodoh selalu bodoh. 

Penelitian oleh Carol,  seorang profesor psikologi Amerika membuktikan  bahwa siswa yang dipuji karena hasil akan menjadi pribadi yang gampang menyerah dan sulit maju ketika dihadapkan dengan kesulitan diluar kemampuannya.  Sedangkan  siswa yang dipuji karena proses belajarnya akan condong belajar untuk lebih baik walaupun tingkat kesulitan lebih tinggi. Apresiasi itu memang penting diberikan  pada siswa, tapi memotivasi siswa karena dia mau belajar itu lebih bermakna ketimbang mengapresiasi nilai yang didapat. Disini kita bisa memahami bahwa hal-hal kecil yang dianggap sepele oleh orang tua dan guru sebenarnya memiliki kekuatan besar untuk membentuk seorang anak/murid. 

Kalau ingin melihat lebih jauh, perhatikan bagaimana siswa di Amerika belajar. Guru-guru akan selalu mengatakan good job, well done, excellent, perfect, awesome, great, wonderful, keep it up, dll. baik secara lisan ataupun tulisan kata-kata yang saya sebutkan ini akan sering sekali dipakai sebagai bentuk appresiasi atau  reward. tujuannya adalah memotivasi siswa untuk lebih semangat. Sangat jarang ditemukan feedback yang berbentuk kata-kata negatif. Bandingkan bagaimana sistem pemberian nilai kita? angka lebih mendominasi dari kata. Akhirnya pola pikir kita terbentuk untuk memahami 9 lebih baik dari 6. Jadi, kita belajar mencari angka bukan ilmu. Kita belajar untuk berkompetisi bukan untuk mencari ilmu. Tempat les bertebaran dimana-mana fokusnya tetap sama yaitu,  menambah nilai untuk bersaing disekolah. Lalu muncul sekolah unggul dan jenis sekolah lainnya yang terus saling bersaing antar sekolah. Fokusnya tetap satu, menciptakan generasi yang pandai dan mendapat rangking tertinggi, bukan generasi yang mampu mengaplikasikan ilmu dan saling transfer ilmu. 

Kalau pola seperti ini terus terjadi,  kita malah memproduksi orang-orang pintar yang akan bersaing satu sama lain. Pendidikan kita seharusnya fokus mendidik untuk menciptakan generasi berilmu tanpa harus bersaing, yang bodoh belajar dari yang pintar dan yang pintar mampu mentransfer ilmu kepada yang belum pandai. Inilah yang disebut Cooperative Learning.! 

#Efek ga bisa tidur. Nunggu sahurrrr. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun