Dalam beberapa hari ini kawasan Aceh dilanda hujan lebat. Ketika melewati jalan raya saat pulang mengajar, saya harus memutar haluan dikarenakan pohon tumbang.Â
Genangan air memehuhi sawah warga. Hujan lebat membawa air deras dari pegunungan. Jalan-jalan tertutupi genangan air coklat dan beberapa rumah warga terendam air.Â
Daya serap tanah tidak lagi seperti dulu kala. Ratusan atau mungkin ribuan pohon telah hilang ditebang. Pegunungan tidak lagi mampu menyerap dan menyimpan air, sehingga hujan 1-2 hari membuat alam terdiam.
Hutan-hutan sejatinya menjadi penyelamat dikala hujan lebat. Namun, pohon-pohon penyelamat itu ditebang. Alam kehilangan keseimbangan.Â
Kawasan perkotaan kini dipenuhi beton-beton. Area terbuka semakin berkurang dan pohon-pohon penyelamat telah hilang. Lagi-lagi, alam tidak mampu membantu. Akar-akar penyelamat berganti beton-beton tebal menutupi permukaan tanah.
Penduduk desa menanggung musibah akibat tangan-tangan jahil penebang pohon. Padahal, manusia sejatinya hidup menyatu dengan alam, saling menghargai dan menjaga ekosistem alami.Â
Akar-akar penyelamat telah hilang. Penyimpanan air di dalam tanah telah rusak parah. Tambang-tambang tidak hanya mengeruk hasil bumi, tapi juga merusak kehidupan.
Sungai-sungai terdiam kaku, seperti tersumpal. Â Lalu, air-air terpaksa masuk ke rumah warga karena akar-akar pohon tidak lagi mampu menampung mereka.Â
Bukankah air-air itu memiliki rumah? lantas, kenapa rumah-rumah mereka ditebang, dirusak, dilapisi beton-beton keras. Akar-akar pohon adalah penyelamat, namun mereka telah hilang tanpa bekas.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H