Di Indonesia, ujian nasional menjadi sebuah simbol ketakutan. Saya teringat ketika masa SMA belasan tahun silam, dimana hari-hari menjelang ujian nasional bagaikan menunggu sebuah bencana besar.
Guru-guru juga menanggung beban besar di pundak. Seberapa besar persentase lulusan sekolah menunjukkan sebuah simbol, simbol 'keberhasilan' seorang guru mendidik.
Momok ujian nasional memberi indikasi kecemasan dan ketakutan pada dua arah. Guru takut muridnya tidak lulus dan dicap sebagai guru gagal, sementara murid harus berjuang melawan ketakutan di atas lembaran kertas ujian.
Alhasil, marwah ujian nasional seringkali berada pada jurang kewaspadaan. Ketakutan sekolah akan rendahnya angka kelulusan, sehingga praktik kecurangan rentan terjadi dimana-mana.
Beberapa kali berkas soal ujian nasional diangkut menggunakan mobil polisi. Katanya untuk pengamanan agar tidak bocor sebelum waktunya. Pada kenyataannya, ada saja pihak yang 'berhasil' membagi-bagi kunci jawaban.
Lalu, apa gunanya perlakuan khusus yang tidak masuk akal itu? kenapa soal-soal ujian nasional diperlakukan bak penjahat yang harus dijaga ketat? lucu, iya sangat lucu!
Setelah beberapa tahun kehilangan momentum adu nyali, kini isu pengembalian ujian nasional kembali memanas. Sebagian menerima ide cemerlang ini, sebagian lainnya condong menolak.Â
Urgensi Ujian Nasional
Sebagai pendidik dan juga pemerhati pendidikan, saya ingin menyoroti urgensi ujian nasional. Kita tahu bahwa asesmen itu penting untuk dilakukan sebagai sebuah indikator.
Sejak penerapan kurikulum merdeka, pola asesmen berubah. Guru diberi keleluasaan untuk memberi penilaian dengan standar yang lebih luas. Siswa tidak lagi dinilai dengan angka, melainkan fakta dan kata-kata.Â
Ada yang merasa senang dengan kebijakan baru ini. Alasannya sederhana, guru tidak lagi harus repot mengecek ratusan lembar kertas hasil ujian dan menjumlahkan angka-angka. Negara bisa menghemat anggaran berkali lipat. katanya demikian!
Faktanya tidak sesederhana yang dibayangkan. Kualitas lulusan bahkan kini dipertanyakan banyak pihak. Sejak ujian nasional dihapus, guru kehilangan arah antara menilai kepintaran atau meluluskan kebodohan.
Banyak yang mengeluh tentang kualitas lulusan yang semakin buruk. Bahkan, sikap dan moral siswa mendadak anjlok. Guru tidak lagi dipandang sebagai sumber ilmu (source of knowledge), melainkan pencetus kelulusan.