Menulis adalah sebuah proses berpikir. Ketika menulis, kita sedang menghidupkan sirkuit dan menghubungkan informasi di dalam neuron. Di sana, informasi diproses dari satu lapisan ke lapisan otak lainnya.
Coba bayangkan sebilah pisau yang tidak dipakai, dibiarkan begitu saja sampai berkarat. Otak manusia jika didiamkan begitu lama akan bernasib sama seperti sebilah pisau.
Sejatinya berpikir adalah usaha terkecil dari menghidupkan otak. Menulis tidak hanya menghidupkan neuron, tapi menghadirkan ledakan-ledakan dahsyat yang mengasah ketrampilan berpikir.
Ketika menulis, kita sedang menghidupkan mesin yang sebelumnya mati. Bukankah sebuah percikan menandakan sebuah kehidupan? bagaimana sebuah lampu bisa hidup jika arus tidak terhubung?
Kalau kita mengibaratkan aliran listrik, maka menulis adalah sebuah proses terbentuknya arus di dalam otak. Rangkaian arus terus mengalir saat kita menulis. Mereka yang menulis pada hakikatnya sedang memberi cahaya pada dirinya sendiri.
Buku-buku yang kita baca menghadirkan percikan cahaya. Mungkinkah cahaya itu hadir dengan sendirinya? tanpa penulis, kita hidup dalam kegelapan.
Lantas, kenapa sedikit yang tergerak untuk menulis? bukankah semua kita membutuhkan cahaya?
Ya, terkadang membiarkan otak tertidur jauh lebih mudah daripada membangunkannya. Semua bisa menulis, tapi tidak semua mau melakukannya.
Sama halnya seperti sebilah pisau yang yang dibiarkan berkarat, tentu sulit untuk digunakan. Jika demikian, bukankah otak yang tidak dipakai berpikir dengan sendirinya menjadi pikun?
Menulislah agar otak bercahaya. Kita membutuhkan percikan-percikan besar untuk menghasilkan cahaya yang menghidupkan. Tulisan-tulisan yang bermanfaat memberi secercah harapan bagi pembaca.
Jangan biarkan ide-ide cemerlang hilang dan lenyap dalam lamunan. Tuliskan setiap gagasan dengan segala keterbatasan. Cahaya dari tulisan bermanfaat akan menemukan kegelapan untuk diterangi.