Kementerian yang bertugas mengamankan data publik sudah semestinya dipimpin oleh sosok orang yang sepenuhnya mengerti tentang IT dan tata kelola data. Protokol keamanan wajib dilakukan dengan tahapan yang benar-benar akurat.Â
Adakah proses backup data sudah dijalankan sebagaimana prosedur berlaku. Jika iya, pencurian data yang gagal dicegah masih bisa dipulihkan dengan cadangan data kedua.Â
Uniknya, pernyataan tidak adanya back up data sulit dicerna orang awam. Seorang mahasiswa saja menyadari jika file skripsi wajib digandakan di tempat berbeda (hard drive atau flash drive).
Kalau data tiba-tiba terserang virus atau terhapus dengan alasan tertentu, maka ada backup data yang masih mungkin digunakan. Nah, bukankah data penduduk yang fungsinya untuk administrasi bersifat pelayanan diperlakukan dan diproteksi berlapis?
Anggaplah seorang pengusaha memiliki transaksi uang dengan jumlah besar setiap hari. Bukankah ia selayaknya mengamankan uang pada tempat yang paling aman?
Jika ia dengan sengaja membiarkan uang puluhan juta terpampang di atas meja, mana yang lebih cocok disematkan padanya, kebodohan atau kecerobohan?
Data penduduk sebaiknya dikelola dengan benar di tangan yang tepat. Artinya, membolehkan data dipegang oleh tangan berbeda menyebabkan kerentanan bocornya data kepada pihak yang ingin mengambil keuntungan.Â
Data publik punya nilai jual tinggi. Sebagian pihak memiliki kepentingan akan data tersebut. Terlepas dari kemungkinan asas kepentingan politik atau bisnis, data publik tidak boleh beralih kepada siapapun dengan alasan apapun.
Negara tidak dibolehkan untuk  bermain-main dengan data pribadi publik dan menganggap spele tentang tata kelola data publik. Kedepannya, serangan siber bukan tidak mungkin datang lebih sering dengan antisipasi di level terburuk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H