Di Indonesia, penjual martabak membungkus martabaknya dengan kertas kopian Kartu Keluarga (KK), sementara penjual cabe membalut cabe dengan kopian Kartu Tanda Penduduk (KTP)
Berita tetang serangan siber ke Pusat Data Nasional (PDS) seperti sebuah lelucon yang sulit dicerna. Rentannya kebocoran data publik yang dikelola negara menggambarkan tata kelola data yang ambaradul.Â
Bayangkan jika sebuah pabrik es memberi kabar bahwa mereka tidak bisa membekukan air karena ada kebakaran di dalam air, atau penjual keripik yang seketika tidak tahu cara memotong singkong. Bukankah itu sebuah lelucon?
Kenapa data yang seharusnya dilindungi begitu mudah diambil oleh pihak lain?
Iklan-iklan promosi begitu mudah masuk ke pemilik ponsel. Konsumsi data pribadi di Indonesia mudah saja berpindah dari satu pihak ke pihak lainnya. Seakan tidak ada proteksi berarti untuk privasi data penduduk.Â
Padahal, data publik mesti diproteksi dengan sebaik-baiknya dari kemungkinan serangan siber. Usaha untuk melindungi data publik adalah hak setiap warga negara.
Bagaimana kualitas keamanan data jika pusat data saja bisa dibobol?
Menarik melihat sejauh mana publik terperangah mendengar isu kebocoran data yang sudah terjadi berkali-kali. Tidak ada langkah berarti untuk melindungi data penduduk.Â
Di luar negeri, data penduduk dilindungi berlapis. Nah, di Indonesia data berupa NIK mudah saja berakhir di tangan penjual kaki lima. Rasanya, melindungi data bukan sesuatu yang menyenangkan bagi warga Indonesia.
Yang lebih menggelikan lagi ada pengakuaan yang menyatakan bahwa data tidak di-backup atau cadangan data tidak ditemukan. Bukankah itu sama seperti sebuah kelalaian sekaligus menunjukkan betapa buruknya level keamanan data publik.Â