Ungkapan di atas berasal dari seorang pakar pengembangan diri ternama, Brian Tracy. Kata earn bermakna mendapatkan/memperoleh, sedangkan learn bermakna belajar.
Earn dan learn adalah dua kata yang tidak bisa dipisahkan dan saling terkait. Dalam konteks bisnis, belajar adalah sebuah kewajiban untuk bisa memperoleh keuntungan.
Sebuah bisnis yang dibangun dengan kebodohan hanya bertahan sekejap. Sebaliknya, dengan pemahaman yang baik, sebuah bisnis akan bertahan dalam waktu lama.
Brian Tracy adalah seorang penulis paling produktif. Tidak hanya itu, ia kerap dipercaya menjadi penasehat perusahaan besar di Amerika.Â
Dalam bisnis, costumer satisfaction adalah kunci utama. Costumer satisfaction adalah kepuasan pelanggan yang menjadi tolak ukur seberapa lama sebuah bisnis dapat bertahan.
Membangun bisnis dengan tujuan profit adalah kesalahan besar. Bisnis yang menjaga kepuasan pelanggan tidak hanya dapat bertahan lama, namun juga mendapatkan profit besar.
Costumer Satisfaction Index (CSI)Â Â
Dalam dunia bisnis, Costumer Satisfaction Index (CSI)Â menjadi acuan untuk berinovasi. Bisnis yang mengabaikan inovasi kerapkali berada di tempat atau malah harus rela hilang dari pasar.
Berinovasi dalam bisnis tidaklah sulit asalkan peka dengan kebutuhan pelanggan. Makanya, Costumer Satisfaction Index (CSI)Â sejatinya bertujuan untuk memahami kebutuhan pasar.
Ada dua indikator CSI yang bisa dipakai untuk standar inovasi, yaitu kepuasan pelanggan dan harga. Ini berlaku untuk tipe bisnis yang menawarkan jasa.
Misalnya, usaha fotokopi, print dokumen, dan cuci pas foto. Bagaimana caranya menerapkan dua poin ini?
Untuk mengetahui sejauh mana pelanggan puas dengan pelayanan, maka pelaku usaha harus menanyakan langsung kepada pelanggan atau memakai standar penilaian via Email ataupun media sosial.Â
Sementara untuk harga bisa dibandingkan dengan rata-rata harga pasar pada tipe bisnis yang sama. Untuk konteks tulisan ini misalnya, apakah biaya fotokopi, print dokumen, atau cuci foto lebih murah atau lebih mahal dari harga pasar.
Kepuasan pelanggan mudah dianalisa dengan membuat standar pelayanan atas setiap jasa. Dengan begitu, jika pelayanan pelanggan keluar dari garis waktu yang ditentukan, maka nilainya minus.
Nah, seringnya pelaku usaha jasa tidak memiliki standar pelayanan yang jelas. Akibatnya, mereka hanya sekedar mengikuti ritme sehari-hari. Kadang pelayanan cepat, kadangpun begitu lambat.Â
Sebagai contoh, tadi pagi saya menuju ke sebuah toko fotokopi untuk mengeprint beberapa dokumen dan pas foto. Saya diarahkan untuk duduk dan langsung membuka dokumen di laptop yang tersedia.Â
Begitu saya memasukkan flash disk ke laptop,  dokumen yang  hendak saya print begitu lama terbuka. Sebabnya satu, laptop yang tersedia spesifikasinya terlalu rendah.Â
Akibatnya, saya menunggu 30 menit untuk kemudian mencoba alternatif lain di laptop berbeda. Pahitnya lagi, spesifikasi laptop juga tidak jauh beda. Seperti menunggu kura-kura berlari!
Parahnya lagi kipas angin bertiup pelan, terasa panas seperti di gurun. Untuk mengeprint dokumen lima lembar dan pas foto empat lembar, waktu saya terbuang sampai satu jam. Terlalu!
Bayangkan jika saya butuh cepat karena buru-buru?
Usaha fotokopi yang saya hampiri jelas tidak memiliki standar kerja yang terukur. Ini terlihat dari bagaimana cara memperlakukan pelanggan.Â
Angka kepuasan pelanggan boleh jadi sangat rendah, sedangkan harga relatif bersahabat. Saya harus mencari alasan jelas jika kedepan harus kembali kesini.
Artinya, usaha fotokopi ini gagal berinovasi untuk membangun kepuasan pelanggan. Jika saya mereka jeli, seharusnya laptop diganti dengan yang lebih bagus, dan kipas angin diperbaiki.Â
Dua hal ini terlihat kecil bagi pelaku usaha. Mungkin mereka berpikir kalau laptop yang ada masih berfungsi, lalu buat apa buru-buru diganti.Â
Namun, yang tidak diantisipasi pelaku usaha adalah kepuasan pelanggan atas pelayanan yang ditawarkan. Investasi pada sebuah laptop kedepannya akan mempercepat kerja dan tentunya menambah kepuasan pelanggan.
Dengan begitu, semakin banyak yang datang berdampak pada meningkatnya profit. Apalagi didukung dengan harga yang relatif murah.Â
Berinovasi itu tidak harus dengan sesuatu yang besar. Cukup dengan mengobservasi kebutuhan pasar dan jeli menilai kepuasan pelanggan.Â
Pelanggan akan senang jika waktu mereka tidak terbuang sia-sia. Jadi, sistem pelayanan harus memiliki standar. Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk melayani satu pelanggan dan berapa lama waktu yang dihabiskan untuk jenis pelayanan lainnya.Â
Ketika pelanggan terlayani dengan waktu yang sama, mereka condong merasa puas. Dengan begitu, loyalitas pelanggan terjaga. Faktor pelayanan tidak boleh diabaikan begitu saja.
Pada usaha kuliner misalnya, standar siap saji dan rasa makanan mesti akurat. Tidak sedikit usaha kuliner yang harus mundur karena gagal membangun kepuasan pelanggan.
Kesalahan terbesar karena fokus pada profit. Akibatnya, mereka mengejar jumlah uang lebih besar, tapi mengenyampingkan pelayanan.Â
Pada akhirnya pelanggan lari ke tempat lain. Itu hal yang wajar! Pelayanan yang buruk akan menghancurkan bisnis perlahan. Kepuasan pelanggan bukanlah sesuatu yang hadir dengan sendirinya.
Bisnis yang dibangun dengan menjaga kepuasan pelanggan akan tetap bertahan, sekalipun dihantam pandemi atau inflasi. Mereka bertahan bukan karena keuntungan besar, tapi lebih kepada loyalitas pelanggan.Â
Oleh karena itu, bangunlah bisnis dengan prinsip memprioritaskan kepuasan pelanggan. Jangan tertipu oleh jumlah profit besar di awal, lalu berakhir dengan sebuah penyesalan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H