Kala Ramadan tiba, undangan buka puasa pun datang silih berganti. Kadang dari teman lama ataupun undangan dari perkumpulan alumni sekolah dan kuliah.
Buka puasa bersama yang sering disebut Bukber kerap menjadi ajang berkumpul bagi mayoritas orang. Dari segi silaturrahmi, Bukber memang identik positif, namun ada beberapa hal yang juga penting menjadi sebuah wadah intropeksi.
Di banyak tempat, ajang Bukber malah terkesan sebagai momen ngabuburit hingga kewajiban shalat magrib terpinggirkan.
Belum lagi ada yang sampai kebablasan sampai shalat tarawih. Awalnya saling bertukar cerita, akhirnya kewajiban utama terabaikan.Â
Tentu saja yang menjadi sumber masalah bukan puasanya, namun manajemen waktu yang kurang terorganisir.
Bukber sah-sah saja dijalankan, namun kewajiban utama seperti menjaga shalat di awal waktu dan mengerjakan ibadah tarawih mesti dikedepankan.
Adapun jika ingin duduk lama untuk bertukar pikiran, boleh dilanjutkan setelah kewajiban utama selesai.
Sisi positif dari Bukber bersama teman lama juga dapat menyambung jaringan pekerjaan (network).Â
Walaupun hanya beberapa kalangan saja yang sebenarnya mampu memanfaatkan momen Bukber untuk memperkuat atau membangun koneksi.
Lantas, kenapa Bukber seakan sudah menjadi bagian dari budaya?