Salah satu isu penting yang diangkat dalam debat semalam adalah tentang pertahanan. 31 Januari 2023, kementerian pertahanan menandatangani kontrak jual beli 12 pesawat tempur bekas merek Mirage-2005 dari angkatan udara Qatar.Â
Katanya, pesawat tempur ini masih layak pakai untuk setidaknya 20 tahun kedepan. Nilai kontrak pembelian termasuk pelatihan pilot selama tiga tahun.
11.9 trilyun bukanlah angka kecil. Pembelian pesawat tempur Mirrage disinyalir untuk mengisi kekosongan sambil menunggu kedatangan Dassault Rafale yang tiba pada 2026.
Kalau 11.9 trilyun dialokasikan untuk kesejahteraan masyarakat, tentu dampaknya lebih besar dan banyak hal yang bisa dilakukan dalam kurun waktu satu tahun.
Jika mau berhitung, penggunaan pesawat tempur hanya sesekali. Keberadaannya memang penting untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia.Â
Disisi lain, Indonesia masih kekurangan ahli cyber yang tidak kalah penting untuk pertahanan gempuran asing. Kalau saja uang itu dipakai untuk mengupgrade sumber daya manusia ke level expert, maka manfaatnya berlipat ganda.Â
Kita tahu, Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia dalam hal cyber. Padahal perang cyber dampaknya lebih besar dan masif. Penggunaan teknologi dalam pertahanan tidak boleh disepelekan.
Bayangkan jika ada 100 orang anak Indonesia dikirim untuk belajar tetang aerospace, lalu diwajibkan pulang untuk membangun negeri. Banyak hal yang bisa dihasilkan.Â
Logika sederhana, kampus Georgia Institute of Technology menawarkan program The Georgia Institute of Technology's Daniel Guggenheim School of Aerospace Engineering dengan biaya kuliah 30-40 ribu Dolar/tahun.
Artinya, dalam kurs Rupiah setara dengan 620 juta. Ditambah biaya hidup perbulan 30 juta, maka hitungan kasarnya 1 milyar/tahun. Kalau menyekolahkan 1 orang di Strata 1 selama 4 tahun, total dana 4 milyar Rupiah. Untuk S-2 anggaplah 2 milyar/orang.