Parkir liar memang sangat merisaukan banyak orang. Bukan perkara berapa uang yang harus dikeluarkan, tapi lebih kepada tanggung jawab terhadap keamanan kendaraan yang dititipkan.
Tukang parkir dadakan memang sering muncul di area keramaian. Terlebih pada kawasan pantai dan tempat yang banyak pengunjungnya, tukang parkir bisa muncul kapan saja bak ninja hatori.
Saya sering menemukan tukang parkir yang cuma bermodal peluit datang menghampiri ketika kendaraan hendak keluar. Mereka hanya menginginkan uang, tapi tidak mau bertanggung jawab jika ada kehilangan kendaraan.
Hal semacam ini memang seharusnya ditertibkan melalui mekanisme parkir terintegrasi. Jadi, tukang parkir haruslah disertifikasi melalui pelatihan layaknya satpam.Â
Bangunan parkir ramah budaya
Sebelum berpikir jauh tentang legalisasi parkir liar, ada baiknya pemerintah setempat mendesain lokasi parkir yang strategis dan ramah budaya. Bagaimana maksudnya?
Perluasan jalan sering 'dimaknai' dengan perluasan area parkir, sehingga selebar apapun jalan tetap dijadikan lokasi parkir liar. Lantas, apa guna jalan dilebarkan, untuk mengurangi kemacetan atau memudahkan lahan parkir?
Bangunan parkir yang tidak tersedia membuat area parkir berserakan di mana saja. Asal ada lahan kosong yang tidak digunakan, di tempat tersebut bisa dengan mudah menjadi area parkir sementara.Â
Selain itu, kita melihat desain bangunan yang belum totatilas menyediakan fasilitas parkir. Akibatnya, toko-toko di samping jalan 'terpaksa' membiarkan motor atau mobil berhenti di depan untuk parkir.
Konsep bangunan parkir hendaknya didesain ramah budaya. Maknanya, area parkir disesuaikan dengan kultur masyarakat setempat. Tujuannya agar pemanfaatan area parkir lebih efektif dan tepat guna.
Misalnya, membangun konsep parkir berlantai adalah ide bagus untuk menghemat tempat, tapi apakah masyarakat mau menggunakannya setelah dibangun?