Warung kopi (warkop) tradisional di Aceh semakin sulit ditemui. Â Sejak 2005 setelah tsunami menerjang Aceh, desain warung kopi di kota Banda Aceh mengalami perubahan dari waktu ke waktu.
Warung kopi yang dulunya didesain dengan area terbuka dan dominan dipenuhi oleh pria paruh baya dan orang tua, kini pergeseran desain tempat memadukan gaya minimalis dan desain bangunan eropa terlihat pada banyak kafe.
Pagi ini saya mengunjungi sebuah warung kopi yang masih mempertahankan konsep warkop tradisional. Disini bahan bakar untuk membuat kopi masih menggunakan kayu. Rasa kopinya sedikit berbeda dibandingkan kopi yang dipanaskan dengan kompor gas.Â
Selain penggunaan kayu bakar untuk memasak kopi, kue-kue yang dihidang masih bernuansa klasik, sebut saja semisal kacang rebus, ubi rebus dan jagung rebus.Â
Yang membuat suasana warung kopi nyaman adalah desain dengan ruang terbuka dengan bangunan seperti lorong yang masih memakai atap rumbia disokong oleh rangka kayu.
Beberapa pohon mangga besar juga membuat suasana tetap sejuk walaupun terik matahari terlihat menyengat di siang hari. Angin lebih terasa dengan konsep bangunan tanpa dinding penyekat.
Apakah desain warung kopi ini sangat ramah lingkungan?
Sejenak saya memperhatikan di hampir semua sudut tempat tidak ada kipas angin, apalagi AC. Penggunaan lampu juga lebih dominan di malam hari, sementara pagi sampai sore sinar matahari masih sangat cukup untuk menerangi semua sudut tempat.
Penggunaan atap rumbia di rumah-rumah tradisional Aceh pada masa lalu menjadi pilihan utama. Berbeda pada saat ini yang condong pada penggunaan atap berbahan seng. Selain karena sulit mendapatkan bahan daun rumbia, harganya juga tidak murah.