Saat selesai latihan lari tadi pagi, saya melihat seorang ibu yang memutar kembali kendaraannya ke arah belakang. "buk, ada minyak?" tanya ibu tadi ke seorang penjual di depan kios.
"ya, ada" jawab penjual dengan cepat.Â
Kios ini baru saja buka dan ibu penjual sedang menyapu di depan halaman kios. Boleh jadi, si ibu yang kehabisan minyak adalah orang pertama yang melakukan transaksi di kiosnya.
Sebenarnya, beberapa meter kedepan akan ada banyak penjual minyak untuk pengguna motor. Nah, disinilah letak pelajaran berharga. Masing-masing kita sudah memiliki takaran rejeki. Tidak akan tertukar, walaupun dikejar.
Pada kenyataan contoh di atas, si ibu yang kehabisan minyak bisa saja mendorong motornya. Namun, tetap saja ia berputar ke belakang untuk mengisi minyak tepat di kios yang sudah duluan diliatnya.
Apakah si ibu penjual minyak beruntung? mungkin saja benar karena ia sudah membuka kiosnya pada saat bersamaan ada yang membutuhkan. Jadi, hakikat rejeki tidak akan tertukar sebagaimana ketentuan yang sudah tertulis.
Seringkali, dalam hidup ini kita mencoba untuk menaksir, menghitung, atau mengkalkulasi pendapatan. Usaha yang diberikan mungkin saja berlebih, tapi kadar yang didapat tetap saja sesuai takaran ketetapan ilahi.
Ada yang bahkan menghalalkan yang haram dengan tujuan mendapat keuntungan lebih. Apa yang terjadi kemudian? uang yang sudah dikantongi malah keluar dengan sendirinya dari jalur yang tidak disangka.
Bukankah bersyukur itu lebih baik dilakukan dalam keadaan apapun?
Boleh jadi rejeki kita sedikit, namun Allah berikan ketenangan dalam hidup yang berlimpah. Ada orang yang rejekinya berlimpah, akan tetapi pikirannya tidak pernah tenang.