Dalam banyak kasus, anak-anak yang masa kecilnya tidak mendapat rasa cinta cukup dari orang tua sering mengalami masalah regulasi emosi.Â
Kasus perceraian misalnya, salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan mengatur emosi. Jika logika sudah dikalahkan emosi, maka otak tidak lagi mampu memisahkan antara benar dan salah.
Tidak heran, faktor pemicu rusaknya keluarga juga berawal dari emosi yang bukan pada tempatnya. Seorang suami marah pada istri, atau seorang istri cemburu pada suami.Â
Rentetan kasus pembunuhan, penganiayaan, pemerkosaaan, atau pencurian semuanya melibatkan emosi. Emosi muncul karena adanya pemicu.
Lantas, apakah pemicu yang mampu membangkitkan emosi seseorang?Â
Di saat terlahir ke dunia, seseorang belom mengenal yang namanya emosi. Seorang bayi secara alamiah mampu mendeteksi emosi ayah dan ibunya, baik itu dari wajah ataupun suara.
Anak belajar mengatur emosi dari pembiasaan. Contohnya, anak yang kemauannya selalu dituruti akan condong meluapkan emosi berbeda dengan anak yang dididik dalam keluarga yang serba kekurangan.
Artinya, kemampuan mengontrol emosi sangat tergantung pada pola pembiasaan dalam rumah, khususnya bagaimana cara orang tua berinteraksi dengan anak.
Makanya, rasa sayang orang tua kepada anak semestinya tidak dibuat-buat. Anak perlu belajar untuk memahami emosi cinta yang tulus dari kedua orang tua.Â
Rasa cinta, marah, sedih, dan senang adalah serangkaian emosi yang mesti dialami anak secara normal. Maknanya, seorang anak wajar jika marah atau kecewa, sama halnya dengan rasa senang.
Akan tetapi, terkadang orang tua beranggapan bahwa anak tidak seharusnya marah. Padahal, emosi marah dalam hal yang wajar memang seharusnya dialami oleh siapapun.